RIAUMANDIRI.CO, PEKANBARU - Menyebarnya misinformasi dan teori konspirasi dinilai menimbulkan masalah bagi penanganan Covid-19. Sebab, hoaks menyesatkan tersebut membuat orang jadi antivaksin, yang pada akhirnya menghambat munculnya herd immunity.
Buat kamu yang punya orang terdekat penganut anti-vaksin, mungkin kamu bertanya-tanya bagaimana cara untuk bikin dia 'tobat' dan mau disuntik vaksin? Para peneliti pun bertanya hal yang sama, dan kini mereka menemukan jawabannya.
Menurut riset terbaru yang dipublikasi di British Journal of Health Psychology pada 18 Juli 2021, seorang anti-vaksin dapat luluh dengan pendiriannya dan mau disuntik vaksin jika teman-teman dan keluarganya secara terbuka menerima vaksin. Temuan ini menunjukkan bahwa pandangan teman pro-vaksin dapat bermanfaat untuk mengurangi dampak negatif dari mentalitas konspirasi pada orang anti-vaksin.
“Temuan kami menunjukkan bahwa ketika teman dan keluarga menyetujui vaksinasi, keyakinan konspirasi tidak lagi berperan dalam memprediksi niat vaksinasi,” kata Kevin Winter, penulis studi sekaligus seorang peneliti senior di Universitas Tubingen, kepada PsyPost.
“Dengan demikian, menyampaikan sikap yang baik terhadap vaksinasi kepada orang lain yang rentan terhadap teori konspirasi mungkin berhasil mengurangi keraguan mereka terhadap vaksin.”
Winter mengatakan, penelitian yang timnya lakukan dilatarbelakangi oleh tren yang mengkhawatirkan dari kemunculan gerakan anti-vaksin yang dapat berakibat buruk bagi kesehatan global. Gerakan anti-vaksin ini, yang muncul berkat teori konspirasi dan hoaks, bahkan telah muncul sebelum pandemi corona merebak.
Oleh karena itu, para peneliti hendak mencari tahu cara supaya orang yang anti-vaksin dapat percaya pada vaksin.
Para peneliti bertanya-tanya apakah orang anti-vaksin kebal dari norma sosial di sekitarnya yang percaya vaksin hingga kukuh tak mau divaksin? Atau, justru orang anti-vaksin bisa luluh dan mau divaksin jika norma di sekitarnya percaya vaksin?
Untuk menjawab pertanyaan itu, para peneliti mengumpulkan 1.280 relawan. Setiap relawan ditanya tentang sikap mereka terhadap 5 vaksin yang berbeda, yang terdiri dari vaksin untuk bepergian ke luar negeri, vaksin hepatitis B untuk anak, vaksin influenza musiman, vaksin untuk melindungi dari virus ensefalitis tick-borne (TBEV), dan vaksin Covid-19.
Untuk setiap vaksin, responden harus melaporkan seberapa niat mereka mau vaksinasi dan juga menunjukkan sejauh mana mereka percaya orang yang mereka cintai juga mendukung vaksin, (misalnya, 'Orang yang saya sayangi mungkin berpikir saya harus divaksinasi [nama penyakit]'). Para peserta pun harus menjawab seberapa percaya mereka tentang konspirasi.
Hasil dari analisis jawaban para peserta menunjukkan, bahwa orang yang tak percaya konspirasi lebih bersedia untuk divaksinasi. Di sisi lain, relawan yang percaya konspirasi ternyata juga mau divaksin jika orang-orang di sekitarnya percaya pada vaksin.
"Manusia adalah makhluk sosial, sangat dipengaruhi oleh persepsi mereka tentang kepercayaan dan sikap orang lain yang dekat seperti teman dan keluarga, tulis para peneliti. Persepsi ini sering disebut sebagai 'norma subjektif'."
Oleh karena itu, para peneliti menganjurkan agar orang terdekat dan keluarga dari penganut anti-vaksin untuk mengungkap dukungan mereka pada vaksinasi. Tindakan ini dapat membuat penganut konspirasi anti-vaksin mau divaksin, dan lebih berguna ketimbang kita capek-capek berdebat bahwa teori konspirasi yang dia percaya adalah salah.
"Daripada mencoba untuk mengurangi keyakinan konspirasi, menandakan norma subjektif positif mungkin merupakan cara untuk menghindari dampak negatif dari kecenderungan konspirasi pada niat vaksinasi," kata para peneliti.
Meski memberikan wawasan yang bermanfaat tentang cara menangani keenganan vaksin dari penganut anti-vaksin penelitian ini punya limitasi.
“Kami sadar bahwa temuan kami mungkin tidak berlaku untuk orang-orang yang mengakar kuat dalam pandangan dunia konspirasi dan pada prinsipnya menolak vaksinasi apa pun,” kata Winter.
“Orang-orang ini bahkan mungkin memiliki lingkungan sosial yang mendukung keyakinan anti-vaksin. Temuan ini lebih berlaku untuk orang-orang yang rentan terhadap kepercayaan konspirasi dan ragu-ragu terhadap vaksinasi, tetapi masih dikelilingi oleh orang-orang dekat yang tidak menganut kepercayaan konspirasi.”
“Faktor pembatas lain yang perlu dipertimbangkan adalah desain penelitian kami hanya korelasional. Artinya, belum jelas apakah mengubah komunikasi antara teman dan keluarga benar-benar akan meningkatkan niat vaksinasi.”