RIAUMANDIRI.CO, PEKANBARU - Anggota Komisi V DPRD Riau, Ade Hartati meminta pemerintah daerah menyiapkan strategi pascakeputusan masuknya Kota Pekanbaru dalam 42 kota di Indonesia yang diwajibkan melaksanakan perpanjangan dan pengetatan PPKM Mikro. Hal ini menyusul makin mengganasnya penyebaran Covid-19 di Pulau Jawa dan Bali beberapa waktu belakangan.
"Kalau pemerintah pusat sudah melakukan kewajibannya, ya. Salah satunya social safety net (berupa bantuan sosial). Tapi pemerintah daerah ini. Mereka harus menyiapkan dampak sosial yang akan terjadi akibat pemberlakuan ini. Perkaranya kita tidak pernah tahu kapan lonjakan kasus akan terjadi," ujarnya kepada Riaumandiri.co, Kamis (8/7/2021).
Salah satu masalah yang harus segera diatasi pemerintah daerah adalah kendala budget sharing BPJS antara Pemrpov dan pemko/pemkab, khususnya Pekanbaru.
Ade mengaku mendapat surat Wali Kota Pekanbaru terkait belum dicairkannya anggaran budget sharing kepesertaan BPJS masyarakat kurang mampu. Padahal, di tengah situasi Covid-19, pengobatan jadi satu hal yang paling krusial dan wajib negara pastikan penyelenggaraannya.
"Yang dianggarkan pemko itu hanya 50 persen dari total yang seharusnya dipenuhi seluruhnya oleh pemerintah. Jadi yang dianggarkan Pekanbaru itu hanya Rp13 M untuk 66 ribu jiwa. Sementara, di Pekanbaru ini ada 126 ribu jiwa lebih yang harus dipenuhi. Ini kasus di Kota Pekabaru, tidak tahu kota lain, karena kebetulan dapil saya di sini. Tapi sepertinya belum juga karena waktu pencairannya pasti sama," jelasnya.
"Masyarakat di Pekanbaru beberapa saya tahu sudah tidak bisa lagi berobat. Dan ketika mereka mengurus surat tidak mampu, pemko pun tidak mampu menganggarkan biaya pengobatan mereka di tahap lebih lanjut. Ini harus serius diperhatikan Pemprov Riau untuk memenuhi iuran budget sharing dengan Pemko Pekanbaru. Per April, khususnya, itu belum dibayarkan Riau," tambahnya.
Sementara, Pengamat Kebijakan Publik UIN Suska Riau, Elfiandri menilai pemerintah harus menuntaskan hak dan kewajibannya kepada masyarakat jika ingin kembali memberlakukan kebijakan seperti PPKM Mikro Bersama.
"Kalau memang pemerintah serius, jalankan kebijakannya, tapi jalankan juga hak dan kewajibannya. PPKM ini kan pembatasan. Lalu masyarakat disuruh bagaimana? Ini kan sudah setahun lebih kita di suasana pandemi, jadi ekonomi masyarkat belum pulih. Baru mau bergairah, ditutup lagi. Ibarat bunga, baru mau ada pucuk, dipotong, pucuk potong. Jadi bonsai ekonomi masyarakat ini," katanya kepada Riaumandiri.co, Selasa (6/7/2021).
Hal senada juga dikatakan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati. Ia menilai istilah-istilah lain dalam skema pembatasan masyarakat seperti PPKM Mikro Darurat, PPKM Darurat, PSBB, dll, adalah upaya pemerintah menghindari kewajiban bantuan sosial kepada masyarakat terdampak.
"Pemerintah kan enggak pakai istilah UU Kekarantinaan (karantina ataupun lockdown) untuk menghindar dari tanggung jawab. Tapi curangnya ketentuan pidananya dipakai, setidaknya untuk mengancam," kata Asfin, Kamis (1/7) dikutip dari Merdeka.com.
Pemenuhan hak-hak yang dimaksud, yaitu kebutuhan pokok baik berupa bantuan sosial maupun subsidi sebagaimana tertuang dalam Pasal 55 ayat (1) UU 6/2018. Bunyinya, ‘Selama dalam Karantina Wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab pemerintah pusat’.
"Intinya gini, selama masyarakat dibatasi untuk bekerja, dan pekerjaannya terpengaruh atau mengandalkan gerak, maka harusnya iya (diberikan bantuan)," kata Asfin.