RIAUMANDIRI.CO, JAKARTA - Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia menilai penerapan kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) Darurat di Pulau Jawa dan Bali yang dimulai tanggal 3 Juli lalu gagal menekan lonjakan Covid-19 di Indonesia yang dipicu merebaknya varian Delta dari India.
"Pemberlakuan PPKM Darurat terindikasi gagal meredam lonjakan Covid-19 varian Delta karena pemerintah tidak maksimal menggunakan tiga instrumen kekuasaan,” kata Achmad Nur Hidayat (Matnoer), Ketua Bidang Kebijakan Publik Partai Gelora Indonesia dalam keterangannnya, Kamis (8/7/2021).
Hal tersebut terlihat masih banyak dijumpai perusahaan sektor non esensial dan kritikal yang tidak mematuhi PPKM Darurat, memaksa pekerjanya bekerja di kantor, bukan dari rumah, disamping tingkat kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan masih rendah.
Menurut Matnoer, tiga instumen kekuasaan yang dia maksud adalah instrumen law enforcement (penegakan hukum), instrumen keuangan dan instrumen leadership (kepemimpinan).
Indikasi PPKM Darurat terindikasi gagal, karena PPKM Darurat belum memberikan hasil berupa melambatnya laju kematian dan laju kasus aktif sebagaimana PSBB di awal pandemi 2020 lalu, malahan sebaliknya terjadi lonjakan kasus aktif dan laju kematian.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, kasus Covid-19 di Indonesia hingga Rabu (7/7/2021), berjumlah 2.379.397 sejak ditemukan pada Maret 2020 lau. A1da penambahan 34.379 kasus baru Covid-19 yang merupakan rekor terbaru.
Hal itu mendekati prediksi Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan yang menyebut kasus harian bisa mencapai 40 ribu per hari.
Sedangkan pasien Corona yang dinyatakan sembuh hingga saat ini berjumlah 1.973.388 orang dan yang meninggal dunia sebanyak 62.908 orang.
"PPKM Darurat sudah berjalan 6 hari sejak 3 Juli namun belum mampu menghentikan laju kematian dan laju kasus aktif Covid-19. Laju kesembuhan belum juga menunjukan level normal sebelum PPKM darurat,” ujarnya.
Ia menilai PPKM Darurat Jawa Bali kurang disertai dengan instrumen penegakan hukum (law enforcement) dibandingkan PSBB lalu.
"Di lapangan banyak perusahaan non esensial dan non kritikal yang tidak mematuhi aturan PPKM. Mereka memaksa karyawan masuk ke kantor. Mereka tidak di hukum tegas," katanya.
Matnoer melihat lemahnya law enforcement dalam PPKM Darurat terjadi karena tidak dilibatkannya Menko Polhukam Mahfud MD dan jajarannya dalam gugus tugas PPKM Darurat.
"Penunjukan Pak Luhut Menko Marves adalah penunjukan yang tidak dilandasi perencanaan matang akibatnya ada yang miss calculation terkait law enforcement,” tegas Matnoer.
Sedangkan terkait instrumen keuangan, Matnoer juga melihat tidak dikuatkan dalam PPKM Darurat kali ini dalam dukungan anggaran.
"Menko Perekonomian telah mengusulkan tambahan Rp225,4 triliun, namun implementasinya butuh waktu 1-2 minggu paling cepat untuk administrasinya dan butuh waktu 1 bulan untuk implementasi lapangannya. Sementara PPKM darurat berakhir 20 Juli. Artinya, dukungan keuangan terlambat,” ungkapnya.
Kebijakan PPKM Darurat ini, lanjutnya, adalah contoh bagaimana kebijakan penanganan pandemi tidak terstruktur, pemerintah gagap dan tidak belajar selama satu tahun kemarin, ini perlu penangangan langsung oleh Presiden.
"Saya kaget karena penambahan anggaran baru diusulkan setelah PPKM Darurat berjalan tiga hari, padahal RS sudah bleeding keuangannya. Insentif tenaga kesehatan dan anggaran penambahan obat-obatan tidak bisa menunggu birokrasi administrasi yang panjang,” kata kata pendiri Narasi Institute ini.
Matnoer berharap Presiden Joko Widodo segera memanggil Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk menyusun draf perubahan dari Perpres No.113 Tahun 2020.
Tanpa perubahan Perpres No.113 Tahun 2020 sebagai payung hukumnya, maka APBN 2021 tidak bisa diubah begitu saja untuk membantu penanganan kesehatan dan bantuan sosial kepada masyarakat
"APBN 2021 tidak didesain mengantisipasi varian Delta Covid-19, karena itu perlu disesuaikan dengan APBN-P 2021 dengan memasukan tambahan anggaran untuk kesehatan dan bantuan sosial yang besar," katanya. .
Sebab, patut diingat bahwa APBN tidak lagi memerlukan persetujuan DPR seperti tercantum dalam Perpres No.113/2020 merupakan payung hukum perencanaan, penetapan, dan pelaksanaan APBN tahun 2021.
“Karena itu perubahan APBN 2021 cukup dilakukan perubahan Perpres,” katanya.
Matnoer menegaskan, selain itu ada gap besar terkait kepemimpinan pemerintah dalam penanganan Covid-19, sehingga kesulitan dalam berkoordinasi. Koordinasi seharusnya berada di tangan Presiden langsung, bukan menteri.
"Untuk mempersempit gap leadership, PPKM Darurat tidak bisa dikoordinasikan oleh selain Presiden. Bila ini varian Delta diibaratkan sebagai serangan masif terhadap publik Indonesia, maka Presidenlah yang harus memimpin counter attack dari serangan tersebut, bukan pembantu Presiden,” paparnya.
“Hanya Perintah Presiden yang mampu meredam. Presiden juga bisa menutup gerbang pintu masuk Indonesia dari warga asing,” pungkasnya.