RIAUMANDIRI.CO, JAKARTA - Wakil Ketua MPR Arsul Sani meminta pemerintah membuka semua potensi, atau paling tidak mempertahankan penerimaan negara dari sektor pajak. Salah satu potensi pajak yang perlu didalami lagi untuk digali adalah sektor sumber daya alam. Bukan mengembangkan kebijakan untuk memungut pajak dari sektor konsumsi rill seperti pengenaan PPN sembako.
“Pemerintah seharusnya menjelaskan kepada publik bagaimana meningkatkan atau mempertahankan penerimaan negara dari pajak dan menggali sektor-sektor lain, di luar sektor riel atau yang langsung bersentuhan dengan hajat hidup orang banyak, untuk bisa dikenakan pajak,” kata Arsul dalam diskusi bertema “Pendapatan Negara dan Keadilan Sosial” di Media Center MPR/DPR, Lobi Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (16/6/2021).
Menurut Arsul Sani, setiap isu yang berkaitan dengan bertambahnya beban kepada masyarakat, seperti PPN sembako maka secara tidak langsung akan dihadapkan dengan sila kelima Pancasila, yaitu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan pasal 33 ayat 4 UUD NRI Tahun 1945.
“Kita harus lihat aspek keadilan sosial dalam mendapatkan sumber pendapatan negara. Sebab, pemerintah baru saja memberikan keringanan PPNBM terkait otomotif, dan akan jadi kebijakan yang anomali kalau sekarang malah sembako dikenakan PPN,” ujarnya.
Arsul menambahkan, sebelum menetapkan kebijakan seperti pengenaan PPN untuk sembako, sebaiknya perlu dikaji secara komprehensif dan memiliki logical step. Dia mencontohkan pemerintah pernah menetapkan kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty). Namun publik tidak mendapatkan informasi dan penjelasan soal evaluasi dan keberhasilan kebijakan tax amnesty itu baik secara kuantitatif maupun kualitatif.
“Sekarang mau diambil lagi kebijakan pengampunan pajak jilid kedua tanpa kejelasan target dan manfaat, serta apakah sudah meningkatkan tax ratio dari pengampunan pajak sebelumnya. Kebijakan ini tidak mengikuti logical step. Dan sekarang ingin mengenakan PPN untuk sembako. Ini yang perlu kita kritisi dari aspek keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” tegasnya.
“Kenapa ini kebijakan pengenaan PPN untuk sembako banyak mendapat penolakan? Karena di tengah pandemi Covid-19 ini, kebijakan pengenaan pajak itu akan melemahkan daya beli masyarakat dan mengganggu roda perekonomian,” tuturnya.
Sementara itu ekonom INDEF Enny Sri Hartati menyebutkan klausul tentang wacana pengenaan PPN untuk sembako dalam draf RUU KUP akan menimbulkan resistensi publik. “Pelebaran ke PPN untuk sembako, apalagi jasa pendidikan, pasti akan menguras emosi publik. Kebijakan itu akan menimbulkan resistensi,” ujarnya.
Enny melihat munculnya wacana pengenaan PPN untuk sembako menunjukkan tidak ada lagi kreativitas dari pemerintah untuk menggali penerimaan negara. “Terjadi kebangkrutan inisiatif, inovasi, kreativitas dari pemerintah. Mungkin ini disebabkan adanya diskresi pemerintah pada masa pandemi ini (diskresi UU No. 1 Tahun 2020),” katanya.