RIAUMANDIRI.CO, Naypydaw – Myanmar dikhawatirkan menjadi episentrum ledakan kasus Covid-19 di tengah konflik yang terus membara sejak kudeta militer pada 1 Februari lalu.
Koordinator kesehatan Federasi Internasional Palang Merah, Abhishek Rimal, mengatakan bahwa Myanmar kini sedang menghadapi dua bencana, yaitu konflik dan peningkatan Covid-19, dan keduanya saling mempengaruhi.
Rimal menyoroti keadaan di perbatasan Myanmar yang kacau balau. Menurutnya, perbatasan Myanmar harusnya memperketat protokol kesehatan demi mencegah penyebaran Covid-19.
Namun sementara itu, perbatasan Myanmar kini dipadati para warga yang ingin kabur dari konflik dengan aparat.
"Jika ada banyak pengungsi bergerak, kesehatan publik dan pembatasan sosial akan dipertaruhkan. Tinggi kemungkinan akan ada klaster baru Covid-19 yang datang dari pergerakan migran dari satu negara ke negara lain," ujar Rimal ke Asian Insider, Rabu (2/6/2021).
Kantor Koordinasi Kemanusiaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNOCHA) melaporkan bahwa hingga 27 Mei, tercatat 46 ribu warga Myanmar kabur dari tempat tinggalnya demi menghindari konflik.
Sekitar 37 ribu dari total pengungsi itu merupakan warga negara bagian Kayah yang kabur ke Thailand setelah baku tembak antara militer dan milisi etnis lokal.
Selain Kayah, sejumlah daerah perbatasan Myanmar lainnya juga menjadi sorotan, salah satunya negara bagian Chin, terutama Kota Mindat yang berbatasan langsung dengan India. Di negara bagian itu, ribuan orang juga kabur dari tempat tinggalnya.
"Saya tahu setidaknya 8.000 dari mereka sekarang berada di dekat Mindat, yang terletak di selatan Chin, berbatasan dengan India," ucap seorang peneliti dari Program Myanmar di Universitas Harvard, Pwint Htun, kepada The Straits Times.
Pwint Htun pun khawatir akan ada varian baru virus corona dari Myanmar yang bisa menyebar di kawasan Asia Tenggara.
"Covid-19 mungkin dapat lebih menyebar dari yang disadari publik. ASEAN bahkan bisa menghadapi varian baru dari Myanmar," tutur Pwint Htun.
Tak hanya di perbatasan, penanganan Covid-19 di pusat Myanmar juga terbengkalai, apalagi sebelum kudeta saja sistem kesehatan di negara itu memang sudah kewalahan.
Reuters melaporkan bahwa berbagai rumah sakit di pusat Myanmar kini mulai kekurangan oksigen, peralatan medis, hingga listrik untuk perawatan pasien Covid-19.
Kini, junta militer bahkan memerintahkan pembukaan kembali sekolah pada bulan ini. Mereka mengancam para orang tua yang tak mengizinkan anaknya ke sekolah.
Sistem pemantau Covid-19 CSIS yang berbasis di Washington, Amerika Serikat, memang melaporkan bahwa tak ada penularan Covid-19 di Myanmar pada Rabu (2/6). Namun, para pakar sangat meragukan laporan itu.
Keadaan kian parah karena saat ini baru 2,3 persen warga Myanmar yang mengikuti program vaksinasi Covid-19.
"Situasi di Asia Tenggara sangat mengkhawatirkan, dan ini merupakan pengingat bahwa jika langkah kesehatan publik tak diterapkan dengan tegas, kita akan melihat situasi serupa di kawasan sekitar Asia Selatan," kata Rimal.