RIAUMANDIRI.CO, PEKANBARU – Zulkifli Adnan Singkah didakwa melakukan suap pengurusan Dana Alokasi Khusus (DAK) Kota Dumai dalam APBN-P 2017 dan APBN 2018. Selain itu, mantan Wali Kota Dumai itu juga disinyalir menerima gratifikasi dari sejumlah perusahaan.
Terkait dakwaan kedua, persidangan telah masuk dalam tahap pembuktian. Seperti yang terungkap pada Rabu (2/6), di mana Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghadirkan seorang saksi, yakni Muhammad Rafi.
M Rafi diketahui masih ada hubungan kekerabatan dengan terdakwa yang akrab disapa Zul AS itu, Di mana istri Rafi adalah keponakan dari mantan Wako Dumai 2 periode itu. Rafi memberikan keterangan secara virtual.
Dalam kesaksiannya, M Rafi memberikan keterangan soal adanya aliran dana atau transfer uang ke rekeningnya. Hal itu kemudian menjadi pertanyaan majelis hakim yang diketuai Lilin Herlina.
"Uang apa itu?," tanya Hakim Ketua. Menurut M Rafi, terdakwa Zul AS ingin membeli tanah dengan menggunakan uang tersebut.
"Itu yang rencananya mau dibelikan tanah sama Pak Zul," jawab M Rafi yang juga merupakan Direktur PT Perdagangan Indo Mandiri Sejati, yang bergerak di bidang pemasaran pupuk.
Lanjut M Rafi, pembelian tanah itu urung dilakukan karena uangnya tidak cukup. Di mana harga tanah itu senilai Rp5,5 miliar.
Diakui M Rafi, dirinya yang menawarkan Zul AS untuk membeli tanah itu. Karena tertarik, Zul AS akhirnya mengirim uang kepada Rafi, dengan total Rp1,2 miliar.
Sepengetahuannya, dari Zul AS Rp300 juta, Rp700 juta dari perusahaan milik orang yang bernama Agus. Selebihnya, M Rafi tidak mengetahui sumbernya.
Pengakuan M Rafi, Zul AS juga ada meminjam uang Rp2 miliar. Rp500 juta berupa uang tunai, yang diantar langsung oleh Rafi kepada orang suruhan Zul AS di Hotel Grand Zuri Pekanbaru. Sedangkan Rp1,5 miliar, ditransfer oleh M Rafi.
Saksi M Rafi juga menyatakan jika dirinya ada dimintai uang oleh sejumlah orang, di antaranya yang bernama Agus dan Yoneldi. Jika uang Rp700 juta yang masuk ke rekeningnya, merupakan uang untuk pembayaran utang.
"Saya pertama berpikir, nanti lah saya bilang. Kemudian kami ada pertemuan lagi beberapa hari kemudian di Sungai Pakning. Saat itu saya bilang ke mereka bahwa ini berbahaya, ini KPK, bukan orang-orang yang tidak pintar. Sebaiknya bicara apa adanya saja," jelas Rafi.
Kembali soal pinjaman Rp2 miliar yang diberikannya kepada Zul AS. Uang itu dipinjam Zul AS setelah tak lama dia ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi. Uang itu dipakai Zul AS untuk keperluannya. Hal itu diketahui saat JPU mendapat giliran bertanya kepada M Rafi.
Usai persidangan, JPU menyampaikan dugaan gratifikasi yang melibatkan Zul AS terkait dengan jabatannya sebagai Wali Kota Dumai. Adapun gratifikasi dimaksud, berasal dari PT Artha Bahari, perusahaan yang mengerjakan proyek PT Perusahaan Gas Negara (PGN) di Dumai.
"(PT Artha Bahari) Subkon (subkontraktor, red)," ujar JPU KPK, Rikhi Benindo Maghaz seraya mengatakan, uang itu ditransfer ke rekening milik M Rafi.
"Kita tanyakan kenapa ada masuk uang dari pemilik PT Artha Bahari ke saudara (M Rafi, red). Dia tidak tahu. Dia tahunya dikonfirmasi Zul AS ada yang masuk Rp1,2 miliar," sebut Rikhi.
"Parameternya, Rp700 juta dari PT Artha Bahari. Itulah yang kami nilai gratifikasi PT Artha Bahari ke terdakwa," sambungnya.
Dijelaskan Rikhi, rencananya uang itu akan digunakan untuk membeli tanah di daerah Arengka, Kota Pekanbaru. Rafi dan Zul AS diketahui ada bisnis join jual beli tanah.
"Salah satu uang untuk melengkapi itu (pembelian tanah,red), dari PT Artha Bahari. Untuk beli tanah yang dijanjikan Rafi ke Zul AS," beber JPU.
Menurut Rikhi, pihaknya semakin yakin ketika M Rafi saat akan dipanggil penyidik KPK untuk diperiksa. Pemilik PT Artha Bahari itu mendatangi Rafi dan meminta agar nanti saat diperiksa, M Rafi merekayasa keterangannya di hadapan penyidik.
"(Diminta supaya) uang Rp700 juta itu seolah-olah pinjaman, bayar utang. Tapi Rafi tidak mau. Budianto Noval nama pengusahanya," imbuh Rikhi.
"Rp1,2 miliar (yang dikirim kepada M Rafi) komposisinya Rp200 juta, Rp300 juta Zul AS juga penyetornya, Rp700 juta dari PT Artha Bahari," lanjut dia.
Rikhi membeberkan awal mula dugaan pemberian gratifikasi itu. PT Artha Bahari, mulanya dapat proyek dari PT PGN di Dumai untuk pemasangan pipa jaringan gas.
"Dapat izin dari Pak Wali Kota (terdakwa Zul AS,red). Wali Kota bilang, untuk dapat izin pakailah pengusaha lokal. Itu PT Bahari Artha itu," beber JPU.
"PT PGN sebenarnya tidak perlu pakai (perusahaan) lokal, juga bisa kerjakan, karena mereka sudah lelang ke PT Tekma. Tendernya PT Tekma yang menjalankan. PT Tekma bisa sendiri," jelas Rikhi lagi.
Namun akhirnya untuk menjalankan permintaan dari Zul AS, PGN memutuskan untuk melibatkan PT Artha Bahari sebagai subkontraktor.
"Jadi karena (PT Artha Bahari) dapat proyek, ada sumbangsih ke terdakwa," sebut JPU KPK, Rikhi Benindo Maghaz.
Terungkap pula, ada nama Agus terkait pemberian gratifikasi dari PT Artha Bahari kepada terdakwa. Nama yang disebutkan terakhir itu, menurut Rikhi, adalah fiktif.
"Analisa kami Agus nama samaran saja. Biar si Rafi tidak terbuka. Sebenarnya yang datang menemui M Rafi itu Yoneldi dan Budianto Noval, pengusaha, kontraktor dari PT Artha Bahari itu," pungkasnya.
Diketahui, dalam dakwaan pertama,Tim JPU menyatakan perbuatan terdakwa Zul AS terjadi pada medio 2016 sampai 2018. Saat itu telah terjadi pemberian uang secara bertahap yang dilakukan di sejumlah tempat di Jakarta.
Terdakwa memberikan uang secara bertahap kepada Yaya Purnomo selaku Kepala Seksi Pengembangan Pendanaan Kawasan Perumahan dan Pemukiman pada Direktorat Evaluasi Pengelolaan dan Informasi Keuangan Daerah pada Direktorat Jenderal Perimbangan Kementerian Keuangan Republik Indonesia.
Uang juga diberikan kepada Rifa Surya selaku Kepala Seksi (Kasi) Perencanaan Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik II, Subdirektorat DAK Fisik II dan Kasi Perencanaan DAK Non fisik. Uang diberikan sebesar sebesar Rp100 juta, Rp250 juta, Rp200 juta dan SGD35,000.
Dalam perkara itu, Zul AS dijerat dengan Pasal 5 ayat (1) huruf b Jo Pasal 13 Undang-undang (UU) RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU RI nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Selain itu, JPU juga mendakwa Zul AS menerima gratifikasi sebesar Rp3.940.203.152. Uang tersebut diterimanya dari pemberian izin kepada perusahaan yang mengerjakan proyek di Kota Dumai dan pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemko Dumai.
Sejak menerima uang Rp3.940.203.152, terdakwa tidak melaporkannya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi dalam tenggang waktu 30 hari sebagaimana dipersyaratkan UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Atas hal itu, Zul AS disangkakan dalam Pasal 12B Jo Pasal 11 Undang-undang (UU) RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU RI nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU RI nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.