RIAUMANDIRI.CO, JAKARTA - Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI Mulyanto menilai peleburan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) akan merugikan pemerintah.
Karena secara umum, setelah dilebur nantinya, fungsi BPPT akan menciut sekedar menjadi Organisasi Pelaksana Litbangjirap (OPL). Litbangjirap yang dimaksud adalah penelitian, pengembangan, pengkajian dan penerapan.
"Dengan penciutan peran itu, dikhawatirkan akan menyebabkan merosotnya kinerja rekayasa dan jasa teknologi nasional yang diberikan sekarang ini," kata anggota Komisi VII DPR RI itu, Senin(10/5/2021).
Seharusnya secara alamiah, perkembangan kelembagaan riset adalah mengikuti dinamika perkembangan iptek, berupa spesialisasi yang semakin hari semakin tajam, konsentrasi pada spesialisasi lembaga, dan otonomi.
Perkembangan ini melampaui disiplin, cabang dan rumpun ilmu. Dari spesialis menjadi sub-spesialis, bahkan kelompok khusus. Lalu terjadi penggabungan kelompok-kelompok rintisan menjadi sub-spesialis baru dan seterusnya.
Mulyanto menambahkan lembaga-lembaga riset ini diarahkan berkonsentrasi pada bidangnya dari aspek SDM dan pendanaan. Lalu dengan otonomi yang dimiliki, mereka menjelajahi dunianya dengan percaya diri untuk mengokohkan kompetensi yang ditekuni.
"Itu yang terjadi di lembaga-lembaga riset di Jepang, Korea Selatan dan di Negara-negara Eropa Barat. Di negara-negara itu diberlakukan spesialisasi kelembagaan, bukan sebaliknya penggabungan atau peleburan di tingkat Badan atau lembaga riset, yang lebih bersifat administratif-birokratis dengan alasan efisiensi anggaran riset," kata ahli nuklir itu.
Mantan Sekretaris Kementerian Ristek ini menjelaskan, BPPT sendiri dalam perkembangannya terlihat memiliki pola pengembangan yang otonom dan menghasilkan kompetensi baru. Spesialisasi itu mewujud dalam rekayasa dan jasa layanan teknologi di balai-balai teknologinya.
Balai-balai teknologi ini berkembang dari hanya beberapa unit, kini menjadi 18 Balai Jasa Teknologi. Masing-masing berkembang dengan produk jasa dan kompetensi khusus yang berbeda. Sebut misalnya jasa teknologi modifikasi cuaca; jasa teknologi polimer; jasa teknologi uji konstruksi; dll.
Kompetensi inti balai teknologi ini, bersama pengalaman pelayanan di masyarakat, semakin meningkat. Belum lagi 20 Pusat Teknologi yang menjalankan fungsi pengkajian dan perekayasaan teknologi yang menaungi balai-balai di atas.
"Sebenarnya akan lebih masuk akal, dalam kerangka spesialiasi ini, justru dibentuk badan-badan riset baru yang mempertajam riset dan inovasi yang tengah ditekuni serta mengeksplorasi hal-hal baru yang mungkin, ketimbang peleburan BPPT ke dalam BRIN," sarannya.
Dengan demikian, jarak antara invensi dan inovasi semakin pendek. Di mana hasil-hasil riset dan rekayasa teknologi dapat segera dibawa ke pasar untuk dikomersialisasi menjadi produk barang dan jasa teknologi dalam industri. Seharusnya arah ini yang didorong untuk semakin dinamis dan bergairah.
Karena itu, Mulyanto berpendapat bahwa penggabungan BPPT ke dalam BRIN, ditambah BATAN, LAPAN dan LIPI, akan membentuk badan riset dan inovasi yang sangat gemuk. Kondisi ini diprediksi akan membuat gerak badan riset ini menjadi lamban.
Menurut Mulyanto, banyak hal krusial yang harus dicermati, bila penggabungan BPPT dan LPNK Ristek lainnya benar-benar akan dijalankan.
Selain soal susunan organisasi dan tata kerja, juga soal manajemen administrasi, nomenkaltur anggaran, asset dan SDM. Belum lagi soal penyatuan budaya kerja, karakter, tradisi, etos dan jiwa korsa lembaga.
“Karenanya saya khawatir dengan rencana peleburan lembaga riset ini. Alih-alih terjadi efisiensi dan peningkatan kinerja lembaga riset, yang timbul nanti justru adalah kelambanan kinerja. Ini set back”, tambah Mulyanto.
Pemerintah perlu menghitung dengan dengan cermat untung-rugi peleburan BPPT dan LPNK ristek lainnya ke dalam BRIN. Apalagi amanat UU No. 11/2019 tentang Sistem Nasional Iptek adalah agar BRIN mengintegrasikan riset dan inovasi nasional dengan mengarahkan dan menyinergikan secara nasional terutama penyusunan perencanaan, program, anggaran dan sumber daya Iptek lainnya. Bukan untuk melebur seluruh lembaga riset.
Untuk diketahui, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) adalah lembaga pemerintah non-kementerian yang berada dibawah koordinasi Kementerian Riset, Teknologi yang mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengkajian dan penerapan teknologi.
Proses pembentukan BPPT bermula dari gagasan Presiden RI ke-2, Soeharto kepada Prof Dr. Ing. B.J. Habibie pada tanggal 28-Januari-1974.
Prof Dr. Ing. B.J. Habibie diangkat sebagai penasehat pemerintah di bidang advance teknologi dan teknologi penerbangan yang bertanggung jawab langsung pada presiden dengan membentuk Divisi Advance Teknologi dan Teknologi Penerbangan (ATTP) Pertamina.
Pada tahun 1976, ATTP berubah menjadi Divisi Advance Teknologi Pertamina. Kemudian berubah menjadi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi melalui Kepres No.25/1978.