RIAUMANDIRI.CO, PEKANBARU - Baru sehari, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mencabut surat telegram (ST) yang melarang media memberitakan kekerasan dan arogansi aparat kepolisian.
Pencabutan ST tersebut diduga akibat kekisruhan yang terjadi di tengah publik dan awak media massa. Pasalnya, pada salah satu poin dalam ST/750/IV/HUM.3.4.5./2021 tersebut, secara eksplisit Kapolri menyebut bahwa media dilarang menyiarkan upaya atau tindakan kepolisian yang menampilkan arogansi dan kekerasan. Kemudian diimbau untuk menayangkan kegiatan kepolisian yang tegas namun humanis.
Meski Kabagpenum Divisi Humas Polri Kombes Pol Ahmad Ramadhan mengatakan, ST itu ditujukan bagi Humas Polri dan media internal Polri, bukan media massa umum. Namun, penjelasan tersebut dinilai hanya sebuah lip service dan berpotensi melegitimasi aparat kepolisian mengintervensi media massa secara umum.
"Bukan barang baru, pejabat atau aparat memberi 'klarifikasi' atas kebijakan atau pernyataan aneh-aneh yang mendapat respons negatif dari warga. Kita mengenal ini sebagai 'lip service'," komentar akun resmi lembaga peneliti media, Remotivi, Selasa (6/4/2021).
"Lip service dipakai untuk meredam kemarahan publik. Salah satu contoh yang populer adalah wacana pengawasan Netflix oleh KPI. Setelah publik naik pitam, KPI kemudian 'mengklarifikasi' omongan ketuanya sendiri. Klarifikasi tidak membuat masalah tiba-tiba jadi selesai. Walau larangan itu ditujukan untuk internal, melakukan sensor dalam kerja instansi pemerintah yang harusnya transparan adalah paradigma yang apa ya istilah yang tepat selain aneh?" tambah akun tersebut.
Direktur LBH Pekanbaru, Andy Wijaya mengatakan keputusan mencabut larangan itu membuktikan Polri tidak melibatkan stakeholder dalam pembuatan ST, sehingga mencoba melihat respons publik untuk menentukan langkah selanjutnya. Namun, menurut Andy yang perlu dipertanyakan adalah di mana peran Komite Kepolisian Nasional (Kompolnas) sehingga Polri dapat membuat kebijakan yang tidak responsif terhadap kebebasan pers di era saat ini.
"Kalau saya bilang telegram itu awalnya tentu diciptakan untuk internal Polri, tetapi nantinya akan dijalankan oleh seluruh aparat kepolisian yang jadi alat untuk polisi-polisi menggeneralisir aturan itu," ungkap Andy kepada Riaumandiri.co.
Sementara, Anggota Majelis Etik Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Pekanbaru, Hasan Basril mengatakan, media tidak perlu mengikuti aturan-aturan bermasalah yang diciptakan siapapun, termasuk Polri. Sebab, media hanya tunduk dan mengacu pada UU Pers.
"Kita kan bukan anak buahnya Polri. Tidak perlu dipatuhi (aturan-aturan bermasalah), tidak perlu merasa terintervensi dengan telegram-telegram begitu. Jalankan saja kerja-kerja jurnalistik kita. Kita dilindungi UU Pers," ungkapnya.
Hasan juga menerangkan, siapa saja yang melakukan tindakan kekerasan dan arogansi harus diberitakan. Selain informasi bagi masyarakat, hal itu juga merupakan kritik agar instansi terkait dapat intropeksi dan menjadi lebih baik.
"Kita harus beritahu ke publik. Itu sebagai pelajaran dan efek jera. Terutama bagi penegak hukum. Mereka harus menegakkan aturan sesuai UU. Jadi tidak pakai kekerasan dan arogansi. Tindakan humanismenya yang harus dikedepankan. Tapi bukan media harus memberitakan humanismenya saja, itu enaknya Polri aja kalau gitu," jelasnya.
Menurut Hasan, anggota kepolisian masih banyak yang melakukan kekerasan dan arogansi dalam menjalankan pekerjaannya, terutama proses penyidikan. Maka, ketika media dilarang memberitakan kekerasan yang dilakukan aparat, sama saja dengan melanggengkan kesemena-menaan tersebut.
"Sudah diberitakan, dikritisi saja masih banyak yang melakukan kekerasan. Apalagi tidak. Makin banyak nanti yang melakukan tindakan serupa. Tapi kan untuk efek jera. Tujuan kita agar polisi semakin profesional," tutupnya.
Sementara, secara umum kinerja kepolisian Indonesia, menurut Andy Wijaya dapat dilihat dari banyaknya korban luka akibat tembakan gas air mata yang mengarah massa aksi pada demo-demo beberapa waktu lalu.
"Ya ini bisa kita liat ketika aksi demo Omnibus Law, beberapa massa aksi luka parah disebabka tembakan gas air mata yang mengarah ke massa aksi," katanya.
Diketahui, pencabutan larangan media memberitakan arogansi aparat kepolisian tertuang dalam ST/759/IV/HUM.3.4.5./2021 yang dikeluarkan pada Selasa, 6 April 2021 dan ditandatangani Kadiv Humas Polri Irjen Raden Prabowo Argo Yuwono.