RIAUMANDIRI.CO, PEKANBARU – Hayin Suhikto divonis 5 tahun penjara. Vonis terhadap mantan Kepala Kejaksaan Negeri Indragiri Hulu itu lebih tinggi 2 tahun dibandingkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum dalam perkara dugaan pemerasan terhadap puluhan kepala sekolah di kabupaten tersebut.
Pembacaan putusan itu disampaikan majelis hakim yang diketuai Saut Maruli Tua Pasaribu di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru, Selasa (16/3) petang. Di tempat yang sama juga terlihat Tim JPU.
Menurut hakim, perbuatan Hayin telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah sebagaimana tertuang dalam Pasal 23 Undang-undang (UU) RI Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo Pasal 421 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
"Menjatuhkan pidana selama 5 tahun penjara," ujar Hakim Ketua dalam amar putusannya untuk Hayin yang saat itu berada di sel tahanan Kejaksaan Agung (Kejagung).
Tidak hanya itu, Hayin juga diwajibkan membayar denda sebesar Rp50 juta subsider 1 bulan kurungan.
Selain Hayin, dua terdakwa lainnya juga dinyatakan bersalah. Mereka adalah mantan Kepala Seksi (Kasi) Pidana Khusus (Pidsus) Kejari Inhu, Ostar Alpansri dan mantan Kasubsi Barang Rampasan pada Seksi Pengelolaan Barang Bukti dan Barang Rampasan (PB3R), Rionald Febri Rinaldo. Saat kejadian, keduanya adalah bawahan Hayin Suhikto.
Terhadap keduanya, hakim menjatuhkan vonis masing-masing 4 tahun penjara. Keduanya juga diwajibkan membayar denda sebesar Rp300 juta atau subsider 3 bulan penjara.
Terhadap barang bukti uang sebanyak Rp1.505.000.000 yang disita dari Pahala Eric Silvandro (Kasi Intelijen Kejari Inhu), dikembalikan ke para guru, melalui Ketua Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) SMP se-Kabupaten Inhu, Eka Satria.
Vonis ketiganya lebih tinggi dibandingkan tuntutan JPU yang disampaikan pada persidangan sebelumnya. Yakni, Hayin dituntut 3 tahun dan denda Rp50 juta atau subsider 1 bulan kurungan.
Sementara Ostar dan Rionald dituntut 2 tahun penjara dan denda masing-masing Rp50 juta atau diganti kurungan badan selama 1 bulan.
Sebelumnya dalam dakwaannya, JPU menyatakan, perbuatan para terdakwa terjadi pada bulan Mei 2019 sampai dengan Juni 2020 lalu. Dalam kurun waktu tersebut, Hayin menerima uang Rp769.092.000, dan Ostar menerima Rp275 juta dan satu unit iPhone X. Terdakwa Rionald sendiri menerima uang Rp115 juta. Seluruh dana diterima Rp1.505.000.000.
Menurut JPU, perbuatan para terdakwa itu bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya terdakwa selaku penyelenggara negara. Uang miliaran rupiah itu berasal dari 61 Kepala SMP di Inhu.
Masih dalam dakwaannya, Jaksa menyebut penerimaan uang itu bermula ketika puluhan kepala sekolah itu menerima dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) tahun 2016 hingga 2018. Pengelolaan dana itu diduga diselewengkan, dan dilaporkan Kejari Inhu.
Bukannya melakukan penyelidikan,
dan pelaksanaan tugas sesuai prosedur yang berlaku terhadap adanya dugaan tidak pidana korupsi dalam pengelolaan dana BOS itu, para terdakwa justru meminta uang kepada para kepala SMP agar kasus tidak dilanjutkan.
Tindakan para terdakwa ini bertentangan dengan Pasal 5 angka 4 dan 6 Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Juga melanggar Pasal 10 UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, Pasal 23 huruf d, e dan f UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.
Selanjutnya, Pasal 4 angka 1 dan 8 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, Pasal 4 huruf d Peraturan Jaksa Agung RI Nomor: PER-067/A/JA/07/2007 tanggal 12 Juli 2007 perihal Kode Etik Perilaku Jaksa, dan Peraturan Jaksa Agung Nomor 006/A/JA/07/2017 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan RI.
Terdakwa juga melanggar Peraturan Jaksa Agung RI Nomor: PER-039/A/JA/10/2010 tanggal 29 Oktober 2010 tentang Tata Kelola Administrasi dan Teknis Penanganan Perkara Tindak Pidana Khusus.
Selain itu, perbuatan terdakwa juga bertentangan dengan Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor : B-845/F/Fjp/05/2018 tanggal 04 Mei 2018 perihal Petunjuk Teknis Pola Penanganan Perkara Tindak Pidana Khusus yang Berkualitas.