RIAUMANDIRI.CO, JAKARTA – Presiden Joko Widodo atau Jokowi diminta mendengarkan masukan dari banyak pihak, mulai dari partai politik hingga masyarakat dan ormas, sebelum membuat kebijakan yang sensitif. Lingkaran dekat Presiden pun didesak berhati-hati dalam memberi saran.
Hal ini dikatakan menyusul keputusan Presiden mencabut aturan investasi minuman keras (miras) yang tertuang dalam Perpres Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal.
"Sebelum menetapkan kebijakan, apalagi yang sensitif dan berkaitan langsung dengan rakyat, sebaiknya presiden meminta pendapat, masukan dan saran dari masyarakat melalui ormas, parpol dan lainnya," kata Ketua DPP PKB Luqman Hakim, Selasa (2/3).
Luqman mengapresiasi Jokowi yang berani mencabut aturan investasi miras. Menurutnya, mantan wali kota Solo itu berarti mendengarkan aspirasi penolakan dari sejumlah pihak, termasuk PBNU dan PKB.
"Berarti Presiden mendengarkan aspirasi penolakan publik yang di antaranya disampaikan oleh PBNU dan PKB," ujarnya.
Senada, Ketua DPP PPP Achmad Baidowi (Awiek) menyambut baik sikap Jokowi. Menurutnya, hal tersebut membuktikan bahwa Jokowi mendengarkan aspirasi masyarakat.
"Kami mengapresiasi sikap Presiden Joko Widodo yang mendengarkan reaksi publik, mendengarkan aspirasi ulama, tokoh pesantren serta partai politik," kata Awiek dalam keterangan tertulisnya.
Awiek mengklaim PPP tak menolak mengenai investasi. Namun, investasi itu harus yang membangun, bukan merusak. Ia mengatakan bakal terus mengingatkan Jokowi jika ada kebijakan yang bertentangan dengan aspirasi publik.
Dalam kesempatan itu, Awiek juga menyarankan agar para menteri dan pejabat di lingkungan Istana Kepresidenan untuk berhati-hati dalam memberi masukan kepada Jokowi.
"Kami menyarankan agar para menteri dan orang-orang di lingkaran presiden untuk selalu berhati-hati dalam memberikan masukan ataupun menyusun draft keputusan," ujar Awiek.
"Lebih mendengarkan pihak terkait agar kebijakannya dapat diterima dengan baik karena berdasarkan aspirasi publik," ia menambahkan.
Terpisah, Pengamat komunikasi Politik dari Universitas Brawijaya, Anang Sudjoko menilai Presiden tak mampu memilah data-data kredibel menyusul pencabutan Perpres miras.
"Jokowi sendiri tidak bisa memilah antara data-data yang valid dan tidak valid, Jokowi juga termasuk presiden yang kurang peka terhadap pemilihan sumber yang kredibel," kata dia, Selasa (2/3). "Jokowi sangat kurang dalam hal membaca data-data empiris di lapangan," imbuhnya.
Selain itu, Anang menilai, pencabutan Perpres izin miras menunjukkan orang-orang di sekeliling Presiden lemah dalam memberi masukan soal investasi tersebut.
Ia turut mengkritik keberadaan buzzer atau influencer di sekeliling pemerintah yang menurut dia tak mampu untuk membantu Jokowi memahami kondisi lapangan dalam menyusun kebijakan.
Alih-alih membantu Jokowi dalam hal itu, Anang menilai pendengung justru hanya digunakan untuk membangun citra pemerintah.
"Secanggih apapun buzzerRp, jika yang dikemas adalah bangkai, maka akan buruk juga dampaknya," katanya.
Dia menilai keberadaan influencer di sekeliling Jokowi terkesan hanya menghambur-hamburkan uang rakyat. "Copot orang-orang buzzerRP yang menyesatkan dan serahkan kembali kepada kekuatan Gov PR," cetus dia.
Sebelumnya Perpres Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal menjadi sorotan publik. Salah satu poin dalam perpres itu adalah membuka pintu investasi industri miras.
Sejumlah kelompok masyarakat, terutama ormas Islam, menolak perpres itu. Setelah mendapat penolakan, Jokowi pun memutuskan untuk mencabut aturan tersebut.
"Saya sampaikan, saya putuskan lampiran perpres terkait pembukaan investasi baru dalam industri minuman keras yang mengandung alkohol, saya nyatakan dicabut," kata Jokowi seperti disiarkan kanal YouTube Sekretariat Presiden, Selasa (2/3).
Wakil Presiden Kaget
Juru Bicara Wakil Presiden Ma'ruf Amin, Masduki Baidlowi menyatakan Ma'ruf kaget dengan keluarnya aturan izin investasi minuman keras (miras) dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal. Perpres itu diteken Presiden Joko Widodo pada 2 Februari lalu.
"Kiai Ma'ruf tidak tahu. Tiba-tiba aja ke luar ketentuan seperti ini. Karena itu ada dalam lampiran," kata Masduki di Kantor PBNU, Jakarta, Selasa (2/3).
Masduki mengklaim Ma'ruf dalam kondisi sangat tersudut usai keluarnya aturan izin investasi miras itu. Pasalnya, Ma'ruf yang dikenal sebagai ulama kini menjabat sebagai orang nomor dua di Indonesia
"Kiai Ma'ruf justru adalah orang yang paling sangat tersudut dengan lahirnya ini," ujarnya.
Menurut Masduki, Ma'ruf telah melakukan berbagai langkah agar aturan tersebut bisa dicabut oleh Presiden Jokowi.
Ma'ruf, kata Masduki,mengusulkan dalam rapat terbatas yang digelar Minggu (28/2) lalu agar aturan tersebut tak dilanjutkan. Ma'ruf juga sudah menghubungi beberapa menteri agar usul pencabutan aturan tersebut bisa sampai ke Jokowi.
"Dan tadi sebelum mengumumkan [pencabutan] juga ada pembicaraan empat mata antara presiden dan wapres membahas masalah itu," kata Masduki.
Lebih lanjut, Masduki mengatakan Ma'ruf sengaja tak berbicara terkait polemik izin investasi miras tersebut ke publik. Menurutnya, tak akan ada gunanya membahas persoalan itu dalam kondisi saat itu.
"Sehingga bagaimana pemerintahannya kemudian mengeluarkan proses izin sebenarnya sesuatu yang dilarang di Alquran secara langsung. Kiai Ma'ruf sangat terjepit dalam kondisi ini," ujarnya.
Bukan Pertama Kali Cabut Aturan Sendiri
Ketua Fraksi PAN DPR Saleh Partaonan Daulay menyinggung Presiden Joko Widodo (Jokowi) kerap merevisi aturannya sendiri. Hal ini menyusul keputusan Jokowi mencabut izin investasi miras di Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal.
Saleh menduga ada yang tidak beres di biro hukum kepresidenan dalam menyusun setiap peraturan baru. Menurutnya, para pejabat biro hukum tersebut kurang peka terhadap situasi sosial, politik, budaya, dan keagamaan.
"Fakta bahwa ini bukan kali pertama presiden mencabut atau merevisi perpres yang dikeluarkan. Wajar jika ada spekulasi di masyarakat yang menyatakan bahwa biro hukum kepresidenan kurang peka di tengah masyarakat," kata Saleh lewat keterangan tertulis, Selasa (2/3).
Saleh mengatakan presiden pasti memiliki ahli hukum dan biro hukum yang khusus merumuskan kebijakan. Mereka yang bertanggung jawab mengkaji secara filosofis, sosiologis, dan yuridis sebuah aturan sebelum diajukan ke meja presiden.
Menurutnya, tim tersebut seharusnya mampu memotret kondisi di masyarakat dengan baik, sehingga peraturan yang dikeluarkan tidak menimbulkan resistensi di masyarakat.
"Kalau begini, kan bisa jadi orang menganggap bahwa perpres itu dari presiden. Padahal, kajian dan legal drafting-nya pasti bukan presiden. Ini yang perlu, menurut saya, perlu diperbaiki di pusaran tim kepresidenan," ujarnya.