RIAUMANDIRI.CO, JAKARTA – Ekonom Senior Rizal Ramli menilai pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan (PPh) untuk penjualan pulsa, voucher, kartu perdana dan token listrik yang berlaku mulai 1 Februari 2021 merupakan bagian dari dampak utang dengan bunga yang tinggi.
Menurut Rizal, karena tingginya utang negara ini membuat Menteri Keuangan Sri Mulyani 'kepepet' dan menjadi sumber pendanaan lewat PPh tersebut.
"Ngutang ugal-ugalan dengan bunga kemahalan, neraca primer negatif selama 6 tahun, akhirnya kepepet, Menkeu Terbalik Sri Mulyani tekan sing printil-printil, seperti pajakin rakyat kecil yang pakai token listrik dan pulsa," ujarnya, Sabtu (30/1).
Eks menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri era Gus Dur ini menyebut cara yang diambil Sri Mulyani dengan menarik pajak tersebut tidak 'kreatif'.
Sementara itu, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudistira menilai kebijakan tersebut kontraproduktif dengan pemberian stimulus kepada masyarakat maupun pengusaha di era resesi dan pandemi Covid-19 seperti sekarang ini.
"Padahal, saat ini pemerintah meminta masyarakat untuk menggunakan internet dan bekerja dari rumah (Work From Home) sehingga membutuhkan banyak banyak pulsa data atau nomor perdana. Karena itu, kebijakan ini dianggap merupakan beban baru bagi masyarakat," tutur Bhima.
Menurut Bhima, beban 10 persen tersebut tidak mungkin hanya ditanggung pihak penyelenggara, namun juga akan dibebankan kepada masyarakat atau konsumen dengan cara menaikkan harga. Karena itu, hal tersebut tentunya akan berpengaruh terhadap daya beli masyarakat.
"Artinya masyarakat harus dipaksa terus menggunakan internet atau telekomunikasi dan dengan kenaikan harga itu dia akan mengurangi pemakaian atau konsumsi barang-barang yang lain. Sehingga ini menjadi beban bagi masyarakat," kata Bhima.
Dia menambahkan bahwa selama ini masyarakat juga sudah dibebankan dengan kenaikan materai. Ditambah dengan kenaikan harga PPN ini, beban masyarakat pun akan bertambah.
"Kebijakan ini justru akan menghambat proses digitalisasi dan transformasi digital dengan pemberlakukan PPN terhadap pembelian pulsa maupun voucer tersebut," tandasnya.
Seperti diketahui, keputusan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 6/PMK.03/2021 tentang penghitungan dan pemungutan PPN serta PPh atas penyerahan/penghasilan sehubungan dengan penjualan pulsa, kartu perdana, token dan voucer.
"Kegiatan pemungutan PPN dan PPh atas pulsa, kartu perdana, token dan voucher perlu mendapat kepastian hukum," demikian bunyi PMK yang ditandatangani Sri Mulyani pada 22 Januari 2021 tersebut.
Selain itu, beleid itu juga diterbitkan untuk menyederhanakan administrasi.
Dalam Pasal 13 ayat 1 beleid yang diteken Sri Mulyani pada 22 Januari 2021 lalu tersebut besaran pajak dihitung dengan mengalikan tarif PPn 10 persen dengan dasar pengenaan pajak.
Adapun dalam Pasal 13 ayat 2 disebutkan dasar pengenaan pajak adalah harga jual yang besarannya sama dengan nilai pembayaran yang ditagih oleh pengusaha penyelenggara jasa telekomunikasi atau penyelenggara distribusi.