JAKARTA (HR)-Hingga saat ini, konflik internal berupa dualisme kepengurusan, masih terjadi di tubuh Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan. Jika hingga tahapan pendaftaran calon kepala daerah keputusan inkrah dari pengadilan belum keluar, maka kedua partai politik senior ini dipastikan tidak bisa mengikuti Pilkada serentak, pada Desember mendatang.
"Kalau masih bersengketa, belum ada kekuatan hukum tetap, maka dilihat isi. Kalau (pengadilan) menunda pemberlakuan SK Menkumham, maka tidak satu pun yang berhak mewakili partai," ujar Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Husni Kami Manik, akhir pekan kemarin.
Husni mengatakan, terhadap parpol yang bersengketa tersebut, KPU akan merujuk pada kepengurusan yang disahkan secara inkrah oleh pengadilan. Jika masih bersengketa alias belum inkrah, KPU tak akan menerima pencalonannya.
"Maka KPU akan menolak pihak yang menamakan partai politik itu," tegasnya lagi.
Untungkan Partai lain
Sementara itu, Direktur Riset PolMark Indonesia Eko Bambang Subiantoro, menilai, konflik yang belum berkesudahan itu, pada akhirnya hanya akan menguntungkan partai politik lain.
"Saya tidak melihat ada indikasi by design oleh kuasa, tapi ini menangguk untung partai-partai lain. Tentu mereka berpikir daripada menghancurkan lawan, akan lebih baik jika lawannya berkurang," kata Eko, dalam diskusi tentang parpol di Plaza Festival, Kuningan, Jakarta, Minggu (12/4).
Tak Islah
Pihaknya menilai, PPP dan Golkar yang masih berkonflik akan mengalami kesulitan tidak hanya pada saat pendaftaran calon. Dualisme di tubuh dua partai itu akan membuat situasi tarik-menarik calon kembali terjadi.
Selain itu, PPP dan Partai Golkar juga akan kesulitan dalam melakukan penggalangan suara konstituen. Elektoral kedua partai juga akan menurun karena konstituen akan menganggap kedua partai ini lebih "rajin" bekonflik dibandingkan menyuarakan kepentingan rakyat.
"Kalau ini terjadi, degradasi suara adalah hukuman paling realistis yang akan terjadi pada dua partai yang berkonflik," kata dia.
Menurutnya, jalan keluar terbaik bagi Golkar dan PPP sehingga bisa mengikuti Pilkada, adalah islah atau berdamai dengan menetapkan satu kepengurusan. "Harus ada islah, sehingga ini bukan kepentingan personal tapi kepentingan partai, masyarakat dan negara," tambahnya.
Upaya islah, Eko juga mengakui bukanlah hal yang mudah. Sebab, harus ada kesepahaman dalam arti salah satu kubu harus mengalah soal posisi ketua umum. Namun, jika mereka menyadari pentingnya Pilkada, islah bukan sesuatu yang tak mungkin.
"Kalau tak cepat selesai, maka figur-figur yang bisa diusung tidak akan muncul. Sehingga partai politik atau figur yang jadi harapan masyarakat akan hilang," ujarnya.
Dalam kasus Golkar, saat ini baru dalam proses awal sidang di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), setelah putusan sela menunda pemberlakuan SK kubu Agung. Apa pun putusannya nanti, hampir dipastikan banding/kasasi baik ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha negara (PT TUN), maupun Mahkamah Agung (MA).
Begitu juga PPP, meski selangkah lebih maju dalam prosesnya yaitu banding di PT TUN yang diajukan Menkum HAM tanggal 27 Februari 2015 juga dari PPP kubu Romi yang diajukan 2-3 Maret 2015. Apapun putusan ini, belum final sampai di MA.
Padahal, jika melihat tahapan Pilkada yang sudah disiapkan KPU dalam Peraturan KPU tentang tahapan Pilkada yang akan diajukan ke Kemenkumham hari ini (Senin, 13/4), pendaftaran pasangan calon sudah dimulai pada 26-28 Juli 2015.
Seperti diketahui, pada Desember mendatang, ada 260 kabupaten dan kota, serta 9 provinsi yang akan menggelar Pilkada.
Kubu Romi Bersikeras
Terkait hal itu, pengurus PPP kubu Romahurmuzy merasa yakin tetap bisa ikut mengajukan calon pada ajang Pilkada. Menurut Wakil Sekjen PPP versi Muktamar Surabaya, M Qoyum Abdul Jabar, dalam hal ini, pihaknya berpegang pada surat KPU dan Menkumham.
"Kami sudah melakukan audiensi, kira-kira dua bulan lalu. KPU inginkan misalnya ada surat penegasan dari Kumham soal posisi parpol yang ikut Pilkada," ujarnya.
Ditambahkannya, Menkumham Yasonna H Laoly lalu membalas surat KPU itu pada tanggal 12 Februari 2015 yang isinya adalah pengesahan kepengurusan PPP versi Romahurmuzy sesuai dengan Surat Keputusan Menkumham tanggal 28 Oktober 2014.
"Poin lainnya, Kemenkumham masih berpedoman pada surat 28 Oktober 2014 itu sampai ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap," kata Qoyum.
Menurut dia, pada putusan PTUN Jakarta, tidak disebutkan kepengurusan mana yang sah. Dua hari setelah putusan itu keluar, kubu Romahurmuzy pun mengajukan banding.
"Karena tidak ada yang disahkan dalam putusan PTUN, sehingga ketum Djan Faridz dan Sekjen Dimyati tidak dikenal. Sehingga yang ada di lembar negara adalah DPP PPP di bawah Romy dan Aunur Rofiq," ungkap Qoyum. (bbs, kom, dtc, sis)