RIAUMANDIRI.CO, JAKARTA - Pakar Politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Abdul Gaffar Karim mengkritik gaya politik Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang memasukkan rivalnya dalam kabinet.
“Memang di satu sisi bagus untuk efektivitas pemerintahan, tetapi tidak bagus jika dilihat dari sisi kontrol pemerintahan. Bagaimanapun pemerintahan perlu keseimbangan untuk dikontrol," jelas Abdul Gaffar Karim dikutip dari laman UGM, Kamis (24/12/2020).
Menurut dia, jika pihak-pihak yang berseberangan kini sudah masuk kabinet maka untuk pengawasan tinggal berharap kepada DPR-RI dalam menjalankan fungsi chek and balances terhadap pemerintahan. Di luar itu, harapan pengawasan satunya lagi adalah kepada civil-society.
Gaffar berharap kebiasaan merangkul rival masuk ke dalam pemerintahan hanya berlaku di era Presiden Jokowi saja.
"Kondisi semacam ini diharapkan tidak terjadi di era presiden berikutnya, sebab bagaimanpun demokrasi itu perlu penyeimbang," tegasnya.
Ditegaskan, sistem presidensiil perlu penyeimbang yang tegas antara eksekutif dan legislatif. Jika kekuatan-kekuatan yang berseberangan seperti yang terlihat dalam relasi Pilpres kemudian ditundukkan maka demokrasi kehilangan penyeimbang, dan ini berpotensi memunculkan pemimpin yang aristokratik.
“Ini tidak cukup bagus untuk demokrasi di Indonesia. Dengan kondisi seperti ini maka kontrol masyarakat melalui gerakan mahasiswa, kampus jangan ikut-ikut tunduk. Jangan ikut terpaku gaya politik Jokowi, harus ada suara-suara alternatif agar pemerintah tetap terawasi oleh masyarakat," tegasnya.
Seperti diketahui, pada awal penyusunan Kabinet Indonesia Maju, Jokowi telah merekrut Prabowo Subianto yang merupalan rivalnya pada Pilpres 2014 dan 2019, yaitu sebagai Menteri Pertahanan.
Kemudian ketika melakukan reshuffle kabinet pada 23 Desember 2020, Jokowi memasukkan Sandiaga Uno dalam kabinet sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Sandiaga Uno adalah calon wakil presiden yang berpasangan dengan Probowo Subianto pada Pilpres 2019.
Reporter: Syafril Amir