RIAUMANDIRI.ID, PEKANBARU - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai kekerasan seksual makin sering terjadi di Indonesia, kendati tak kunjung dapat diselesaikan dengan serius. Tiap tahun angka kekerasan seksual semakin meningkat dengan berbagai modus.
Penanganan kasus kekerasan seksual juga dinilai masih dibayangi banyak permasalahan mulai dari hukum, menyalahkan korban (victim blaming) dan absennya negara dalam pemulihan korban. Atas situasi tersebut, jaringan masyarakat sipil se-Indonesia melaksanakan sidang rakyat secara daring untuk mendesak pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), Jumat (2/10/2020).
"Kekerasan seksual terjadi di mana-mana mulai dari rumah tangga, tempat kerja, rumah ibadah, institusi pendidikan, institusi politik dan pemerintahan, perkebunan dan pertambangan, institusi penegak hukum, masyarakat adat dan segala lini kehidupan manusia. Di Indonesia, korban kekerasan seksual bukan dilindungi malah menjadi korban pelanggaran HAM yang terenggut hak atas hidup, hak atas pendidikan, hak atas pekerjaan, hak atas kesehatan dan hak-hak lainnya," ujar Ketua YLBHI, Asfinawati.
Sidang Rakyat Mendesak Pengesahan RUU P-KS diklaim sebagai luapan perasaan korban dan pendamping korban yang selama ini diabaikan oleh negara dalam memperoleh keadilan atas kekerasan seksual. Sidang rakyat ini bertujuan mendesak DPR RI memasukkan RUU PKS dalam Prolegnas Prioritas 2021 dan bersama Presiden RI untuk segera mensahkannya. Sidang ini diselenggarakan 2-5 Oktober 2020, dimulai dari Pembukaan, Region Sulawesi dan Papua, Region Sumatera, Region Jawa, Region Bali, Nusra dan Kalimantan serta Penutupan.
Pembukaan sidang rakyat dipimpin oleh tiga orang pimpinan sidang yang terdiri dari Ni Putu Chandra Dewi dari LBH Bali, Meila Nurul Fajriah dari LBH Yogyakarta, dan Rezky Pratiwi dari LBH Makassar.
"RUU P-KS berbasis dari pengalaman korban kekerasan seksual. Perancangan RUU P-KS sudah dimulai sejak 2010 dan masuk dalam proses legislasi di DPR RI tahun 2016. RUU P-KS mengusung sembilan jenis kekerasan seksual dan memberikan perlindungan lebih kepada korban kekerasan seksual. Penundaan pengesahan RUU P-KS telah mengabaikan pemulihan dan keadilan bagi korban kekerasan seksual," jelas Komisioner Komnas Perempuan, Andi Yendriani.
Guru Besar Universitas Indonesia, Sulistyowati Irianto menyampaikan kejahatan seksual adalah kejahatan kemanusiaan (crimes againts humanity). Kejahatan yang paling keji dalam sejarah bangsa bahkan sebelum kemerdekaan yang dialami oleh perempuan dan anak-anak.
"Tidak ada hukum yang cukup untuk melindungi korban kekerasan seksual di Indonesia. Kejahatan seksual harus dihentikan karena kejahatan kemanusiaan yang menyebabkan hilangnya nyawa korban dan trauma hingga akhir hidup. Negara wajib hadir untuk melindungi korban dengan melahirkan hukum negara yang memberikan keadilan dan pemulihan bagi korban kekerasan seksual untuk mengatasi kedaruratan saat ini. RUU P-KS mesti mereformasi hukum pidana yang selama ini tidak mampu memberikan keadilan bagi korban," papar Sulistyowati.
Sidang ini dilaksanalan daring via Zoom dan dapat ditonton secara live melalui chanel Youtube Yayasan LBH Indonesia. Rencananya, sidang akan dilaksanakan hingga 5 Oktober 2020 mendatang.
Reporter: M Ihsan Yurin