RIAUMANDIRI.ID, JAKARTA - Wakil Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Fahri Hamzah mengatakan, negara sebelumnya percaya bahwa pikiran harus dikontrol sejak dini, sehingga negara menentukan apa yang boleh dibaca dan apa yang boleh dikatakan.
Untuk mengontrol itu, pemerintah kemudian menyelenggarakan penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) sebagai alat kontrol.
"Ini yang boleh dan ini yang tidak boleh secara sepihak, tapi kita telah hentikan kekeliruan itu," kata Fahri dalam keterangan tertulis yang diterima Riaumandiri.id, Jumat (11/9/2020).
Menurut dia, konstitusi telah mengatur perbedaan pendapat adalah sebuah keberkahan. Sehingga negara menjamin kemerdekaan setiap penduduk untuk berserikat, berkumpul, menyatakan pendapat baik lisan maupun tulisan.
"Konstitusi kita sekarang percaya bahwa ide dan pikiran hanya bisa dilawan dengan ide dan pikiran," ujarnya.
Karena itu, Fahri menegaskan, kekuasaan sebesar apapun tidak bisa memusnahkan pikiran. Sebab, pikiran selalu punya cara untuk menang di depan kekuasaan sebesar apapun.
"Kita sudah pernah dengar dalam sejarah pemuda Ibrahim di depan Raja Namrudz yang memberikan argumen pikiran melawan kekuasaan. Ibrahim adalah pemuda _Good Looking_ yang cerdas mempertanyakan tradisi menyembah berhala saat itu," ujarnya.
Hal ini juga dilakukan oleh seorang pemuda bernama Muhammad yang datang dengan ide 'Islam' di tengah masa jahiliyah. Ide tentang Islam ini membuat banyak orang tertarik, tetapi kaum mapan justru mencoba mematikannya dengan kekuasaan karena merasa terancam. Bahkan merencanakan pembunuhan dan perang terhadap Nabi Muhammad SAW.
"Apa yang terjadi? Ide Islam bersemi dan sampai sekarang ia menjadi agama yang terus berkembang, sehingga kita pun di Indonesia menjadi pemeluk Islam yang terbesar di dunia. Ini karena ide, kalau benar ia tidak bisa dilawan. Kebenaran ide hanya bisa dilawan dengan membuktikannya salah!" katanya.
Sebaliknya, yang terjadi dengan komunisme yang mulai hilang di dunia, bukan karena diperangi seperti Islam, tetapi karena ide pikirannya memang tidak benar sejak awal. Di Amerika dan di semua negara demokrasi ide komunis tetap ada, tetapi tidak bisa menang karena idenya kalah 'dalam pertandingan' demokrasi dan politik.
"Idenya salah! Ide komunisme mulai hilang di dunia, bukan karena diperangi tetapi karena ia tidak benar," tandas Wakil Ketua Umum Partai Gelora Indonesia ini.
Fahri menilai andaikata Partai Komunis di Indonesia tidak melakukan pengkhianatan, tentu PKI di Indonesia tidak akan dilarang. Padahal ide komunis itu akan mati dengan sendirinya, tanpa harus diperangi.
"Komunis akan mati dengan sendirinya bahkan di negara yang partai komunisme sendiri berasal, komunisme sudah tinggal bungkus belaka," ujarnya.
Sementara terkait UUD 1945 yang merupakan Konstitusi Indonesia, Fahri menilai sebagai jalan pikiran yang diambil negara dari sebuah perbedaan pendapat, dimana negara memfasilitasi perbedaan pendapat untuk melindungi kebebasan berkumpul dan berserikat.
"Demokrasi memang ide yang susah dan tidak mudah dimengerti. Tetapi setidaknya seandainya para penguasa mau mendengar saja. Tentu ceritanya beda," jelas Fahri.
Wakil Ketua DPR RI Periode 2014-2019 ini lantas menyentil Menteri Agama (Menag) Fachrul Razi yang berencana melakukan sertifikasi terhadap 8.200 penceramah yang ditargetkan selesai pada September 2020 ini, sehingga menimbulkan polemik di masyarakat. Hal itu akibat Menag tidak mengeja 'alif ba ta 'demokrasi Indonesia.
"Saya mohon maaf menulis soal-soal elementer ini. Coretan kecil ini saya buat agar kaum intelektual di samping pak Menteri Agama mulai mengeja kembali, alif ba ta dari demokrasi kita. Takkan sulit jika kita mau," pungkas Fahri. (*)