Oleh: Romaito Azhar
RIAUMANDIRI.ID - Provinsi Riau sebagai episentrum kebudayaan melayu merupakan sebuah daerah yang dari dulu menjadi tujuan arah mata memandang. Banyak perantau yang sukses untuk hidup mencari nafkah di bumi yang disanjung sebagai 'the homeland of Melayu' ini.
Dari segala sisi sumber daya alam, provinsi ini telah memberikan banyak sumbangsih bagi rakyatnya dan pendatang, sumbangsih yang tiada dua di republik ini, siapa saja yang datang bekerja, berusaha, dan berniaga akan mendapatkan kesuksesan.
Posisi Riau sebagai salah satu provinsi terkaya dengan segala potensinya yang sangat mentereng itu cukup membuat sebagian orang dan pejabatnya tergiur untuk melakukan praktik-praktik korupsi dan kolusi.
Hal tersebut dapat dilihat dari berbagai macam tindakan pihak berwenang untuk melakukan pemeriksaan, operasi tangkap tangan, dan penangkapan pejabatnya, yang selanjutnya selalu disusul dengan demonstrasi dari rakyat Riau, tidak sepi bahkan di saat pandemi. Sebuah ekspresi ketidakpercayaan. Bagaimana mungkin di negeri pusat melayu nan dielu-elukan ‘islami’ ini, para pemimpinnya dan pejabatnya korupsi?.
Sumbangsih Riau pun tidak hanya berasal dari sumber daya kebudayaan dan alamnya. Lebih jauh, daerah ini telah mampu untuk membuat Indonesia masuk dalam posisi sepuluh besar negera terkorup di dunia. Bukan tidak ‘membanggakan’ sumber daya pejabat dengan praktik kolusi dan korupsinya itu bisa membuat Riau ‘the homeland of Melayu’ membantu republik ini untuk terkenal di dunia. Sebuah prestasi yang sepatutnya disusul dengan demonstrasi.
Apa gerangan sehingga para pemimpin negeri melayu ini selalu saja ‘tak tahu malu’, walau sudah ditepung-tawari, mendapatkan gelar adat melayu tertinggi tapi tetap saja melakukan praktik-praktik kolusi dan korupsi?
Bukankah ketika menjabat para pejabat sudah kaya, sudah berpunya, lantas apalagi yang hendak didapat? Apakah tidak cukup bagi para pejabat dengan semua fasilitas yang telah diberikan negara untuk berprilaku saleh melepas diri dari kerusakan negeri?
Pertanyaan demi pertanyaan yang sedemikian, para pejabatlah yang bisa menjawabnya. Bagi rakyat, mereka sudah muak, kerja-kerja demokrasi selalu dikhianati. Janji-janji sebelum pemilihan selalu diingkari, tidak ditepati, seakan gampang saja bagi mereka untuk menokohi masyarakat yang sudah jujur untuk memilih pemimpin negeri.
Malu masyarakat Riau pada zaman ini, bukan hanya karena kemiskinan yang terus bertambah, kesulitan demi kesulitan saat pandemi, hingga problematika transparansi anggaran covid yang implementasinya bisa dipertanyakan.
Belum lagi jika kita korek masalah korupsi dan ekploitasi sumber daya alam di 12 kabupaten dan kota Provinsi Riau. Negeri Melayu yang kaya ini seakan mengalami musibah yang tiada henti bukan karena Tuhan tidak sayang, melainkan karena pemimpinnya cacat moral, mudah tergoda dan takut untuk berbicara atas nama kepentingan rakyat.
Dalam kesulitan yang demikian itu, para pemimpinya seakan ‘mengamankan’ kepentingan kelompok dan sedare mare-nya saja, rakyat dijadikan the second choice yang bisa diselamatkan kapan-kapan saja, bukan prioritas yang diutamakan.
Instansi yang dapat menakut-nakuti para pejabat yang kolutif dan koruptif seakan tidak berdampak bagi pejabat yang korup, seakan-akan memberikan gambaran bahwa instansi berwajib bisa ‘diamankan’.
Wajar jika banyak dari pejabat yang memilki intensi buruk terhadap negeri nan suci melayu ini tidak takut bahkan terang-terangan melakukan kejahatan terhadap negara.
Hal ini terlihat dari beberapa kali pemimpin negeri ini dijebloskan masuk tansi. Gubernur Riau, dalam hal ini sudah sepatutnya dapat melihat situasi yang sedemikian pelik, mencari solusi agar jangan sampai ancaman KPK beberapa waktu lalu terkait semua yang berkaitan dengan Provinsi Riau dan potensi korupsinya di saat pandemi menjadi kenyataan, agar Bapak Gubernur tidak terkena dampak tulah tepung tawar dan gelar adat, menyusul gubernur sebelum-sebelumnya yang dipenjara.
Selanjutnya Gubernur Riau sebagai pemimpin daerah yang bergelar Datuk Seri Setia Amanah, semestinya mampu untuk untuk menyudahi demonstrasi yang kerap kali menimpa provinsi di bawah kepemimpinanya, terutama terkait dugaan korupsi yang dilakukan oleh sekretaris daerahnya selama menjabat pada tiga posisi strategis di Kabupten Siak, Negeri Istana itu.
Seharusnya dengan hak prerogatif yang dimiliki gubernur, mencopot atau menonaktifkan sekretaris daerah yang ‘bermasalah’ bukanlah hal yang sulit, terlebih hal tersebut menjadi arahan MenPAN-RB Tjahyo Kumolo di tahun 2019 terkait pejabat yang beramasalah.
Jika hal tersebut tidak dilakukan, problem dugaan korupsi masa lalu pejabat yang ‘dipilih’ gubernur akan selalu menjadi fokus rakyat dan bahkan bisa menjadi preseden yang buruk bagi kepemimpinan Gubernur yang sekiranya belum genap 2 tahun dan selalu akan menjadi bulan-bulanan rakyat. Bahkan lebih buruk lagi, akan timbul di kalangan masyarakat kecurigaan bahwa telah terjadi kongkalingkong antara gubernur dan sekdanya berikut sedare-marenya yang menjabat di berbagai posisi decision maker strategis di pemerintahan.
Gelar suci adat dengan prosesi tepung tawar dan sumpah amanah adat melayu, sudah seharusnya menjadi beban bagi setiap kepala daerah yang berada di Provinsi Riau.
Jangan sampai sumpah adat kepada Tuhan itu memberikan mereka tulah yang tak terperi, mempermalukan keluarga yang disumpahi tujuh turunan, tersebab tak cakap membawa kapal Lancang Kuning berlabuh.
Gelar datuk bukanlah sekadar gelar yang seenaknya tersemat pada badan tanpa tanggung jawab, dan siapa pun yang disematkan gelar amanah yang keramat itu harus sadar bahwa setiap tindak dan tanduk prilakunya. Jika baik maka tidaklah mungkin kapal tenggelam, sebaliknya, jika salah Allah dan murka samudra akan menghampiri. Tulah malu buat badan ditanggung anak kemenakan sampai mati.
*Penulis adalah Wakil Sekjen Hubungan Internasional PB HMI dan Direktur Eksekutif Milenial Demokrasi Institute