Oleh: Prof Dr Alaiddin Koto, MA
RIAUMANDIRI.ID - Banyak sekali cerita tentang wabah virus corona (Covid-19) yang telah melanda dunia sejak akhir tahun 2019 yang lalu. Ada yang mengatakan sebagai buatan manusia, konspirasi jahat tingkat dunia untuk mengurangi penduduk dunia (depopulasi) yang telah padat; untuk melumpuhkan system ketahanan negara-negara tertentu supaya dapat dikuasai oleh negara-negara atau kelompk yang tergabung dalam konspirasi itu; sebagai hukuman Allah atas kedurhakaan manusia; sebagai cara alam dalam membersihkan diri seratus tahun sekali, dan berbagai cerita lainnya yang bekisar tentang itu juga.
Khusus untuk Indonesia, misalnya, ada yang mengatakan wabah ini dijadikan sebagai permainan politik dari orang atau kelompok tertentu untuk melumpuhkan kekuatan penduduk mayoritas terbesar di negeri ini, Islam, dan lain sebagainya.
Terlepas dari semua anggapan seperti tersebut di atas, yang jelas, Covid-19 sudah menimbulkan dampak yang sangat signifikan terhadap hampir seluruh aspek kehidupan manusia, mulai dari kesehatan, ekonomi, pendidikan, hukum, agama, dan aspek social lainnya seperti kesatuan dan persatuan masyarakat di lapisan bawah.
Covid-19 telah membawa dampak yang cukup serius terjadinya perpecahan di tengah masyarakat Indonesia hari ini. Perpecahan itu disebabkan oleh berbedanya persepsi mereka dalam menyikapi himbauan pemerintah untuk mentaati protocol kesehatan tentang keharusan memakai masker, cuci tangan, menghindari kerumunan atau menjaga jarak dengan orang lain saat melakukan aktivitas.
Sebagai akibat dari perbedaan sikap itu, kini muncul gejala baru yang cukup mencemaskan akan terjadinya keretakan social, terutama di kalangan masyarakat bawah. Satu kelompok mau mengikuti himbauan pemerintah secara ketat agar virus cepat berlalu dari kehidupan mereka, tapi kelompok lain tidak mau peduli dengan himbauan itu, karena tidak mau terlalu berlebihan dan paranoid, ditambah lagi adanya kecurigaan seperti disebut diatas serta melemahnya kepercayaan kepada pemerintah.
Perpecahan yang lebih berbahaya lagi, misalnya, justru bermula di rumah-rumah ibadah. Sebagian Jemaah menghendaki dihentikan dulu untuk sementara kegiatan ibadah berjamaah dan menutup rumah ibadah untuk sementara waktu, tetapi yang lain tetap mau melaksanakan ibadah berjamaah itu dan tidak mau rumah ibadahnya ditutup, tidak mau ada aturan seperti pakai masker, jaga jarak dan lain sebagainya di dalam rumah ibadah itu sendiri.
Tidak tanggung-tanggung, bahkan ada di kalangan sesama pengurus bertengkar dan hampir beradu pisik justru di dalam rumah ibadah sendiri gara-gara perbedaan paham di antara sesama mereka.
Tulisan ini tidak untuk membahas berbagai gejala atau konflik di seputar itu, tetapi ingin melihatnya dari perspektif hukum, khususnya hukum Islam, apa hukumnya mentaati himbuan pemerintah untuk melaksakan protocol kesahatan yang selalu dihimbaukan melalui media massa dan lain sebagainya.
Dalam al-Quran disebut agar kita bertanya kepada orang yang ahli ilmu tentang hal-hal dimana kita tidak ahli tentang itu (al-Nahl ayat 43)
Ada dua kelompok yang perlu ditanya terkait dengan Covid-19 ini, yaitu: pertama, dokter atau ahli kesehatan, dan; kedua, ulama fikih atau ahli hukum Islam.
Kepada dokter kita disuruh bertanya tentang apa itu virus corona, bagaimana sifatnya, dan bagaimana pula cara penyebarannya. Kepada ahli hukum Islam kita bertanya apa hukum mematuhi atau tidak mematuhi himbauan pemerintah yang berhubungan dengan upaya pencegahan dan penularan virus itu di tengah-tengah masyarakat.
Tentu semua sudah tahu bahwa covid 19 adalah virus yang berbahaya, bisa mengakibatkan kematian bagi yang terinfeksi. Berapa bahayanya juga sudah diketahui, baik melalui media social atau melalui apa yang disampaikan secara langsung oleh para ahli kepada masyarakat.
Tulisan ini tentu tidak akan berbicara tentang itu lagi, disamping penulis memang bukan ahliya di bidang itu. Yang akan dikemukakan adalah apa hukumnya mematuhi seruan pemerintah—yang pada hakikatnya adalah perintah--agar masyarakat mematuhi protocol kesehatan supaya terhindar dari bahaya virus yang sangat meresahkan itu.
Oleh karena imbauan pemerintah dimaksud lebh spesifik tentang cara mencegahnya, maka kita juga akan berbicara apa hukum mencegah penularan itu dan sekaligus tentu hukum mematuhi seruan tersebut sebagai jalan untuk melakukan pencegahan. Untuk itu, terlebih dahulu, kita kembali bertanya kepada ahlinya, bagimana cara penularan virus corona sehingga kita bisa terpapar oleh karenanya.
Dari berbagai informasi yang beredar dapat disimpulkan bahwa covid 19 dapat menyebar atau berpindah secara langsung melalui percikan batuk, bersin, dan napas orang terinfeksi yang kemudian terhirup oleh orang sehat. Oleh sebab itu diperintahkan agar memakai masker. Virus itu juga dapat menyebar secara tidak langsung melalui benda-benda yang tercemar virus akibat percikan atau sentuhan tangan orang yang tercemar virus. Virus juga bisa tertinggal di permukaan benda-benda dan hidup selama beberapa jam hingga beberapa hari, Jika tangan tercemar percikan, virus dapat menyebar melalui sentuhan antar orang, karena itu penting untuk sering mencuci tangan pakai sabun dan air mengalir, dan untuk sementara waktu, menghindari bersalaman atau saling mencium.
Simpulan singkat di atas dapat lebih diringkas lagi bahwa virus corona (mungkin juga virus-virus yang lain) menyebar melalui:
1. Percikan batuk atau bersin seseorang yang terkena virus kepada orang lain yang belum terkena irus.
2. Sentuhan kepada benda yang telah disentuh oleh orang yang terkena virus.
Atas dasar itulah pemerintah menghimbau agar masyarakat memakai masker dan menjaga jarak bila bersama orang lain, serta sering mencuci tangan dengan sabun. Semua cara itu dilakukan untuk menjaga diri agar tidak terpapar dan juga tidak memaparkan virus kepada orang lain yang ada di dekat atau di sekitar kita.
Bila dasar imbauan itu berasal dari hal-hal di atas, maka masuklah dalam kategori peringatan Nabi dalam riwayat Ibn Majah dan Dar al-Quthni, la dharar wa la dhirar, jangan memberi mudharat kepada orang dan jangan juga diberi atau dikenai mudharat oleh orang lain. Hadis yang kemudian dijadikan ulama sebagai dasar salah satu kaidah terpenting dalam hukum Islam, yaitu al-Dharar yuzal, seluruh mudharat, apapun bentuknya, dan dimanapun adanya harus dihilangkan atau dihindari, baik untuk orang lain, maupun untuk diri sendiri.
Hadis itu memfaedahkan hukum haram bagi siapa saja yang melakukan perbuatan mudharat tersebut, baik terhadap orang lain, maupun terhadap dirinya sendi. Khusus untuk kewajiban menjaga diri sendiri dari bahaya diingatkan Allah dalam surat al-Baqarah ayat 195, wa la tulqu biaidikum ila al-tahlukah. Jangan biarkan dirimu jatuh ditimpa bencana.
Artinya, kita dilarang membuat diri sendiri terkena bencana. Di sini berlaku lagi satu kaidah berikut, yaitu, inna li al-wasa-il hukm al-maqashid.Nahyun an syai-in nahyun bi wasa-ilih. Larangan terhadap sesuatu, juga larangan terhadap segala sesuatu yang akan menimbulkan terjadinya sesuatu yang dilarang itu. Hukum semua hal atau jalan yang mengantarkan terjadinya sesuatu, sama hukumnya dengan yang dituju itu sendiri.
Persoalannya adalah, virus yang diberi julukan Covid-19 ini tidak terlihat, bahkan banyak orang yang tidak tahu atau tidak merasa bahwa dia sudah terpapar Bahkan banyak ahli mengatakan lebih dari 85% adalah orang yang seperti disebut terakhir, tanpa gejala atau OTG. Tidak ada maksud untuk menyebarkan virus kepada orang, atau tidak tahu kalau orang lain yang ada di dekatnya sudah terpapar, sehingga mereka tidak merasa perlu mematuhi protocol kesehatan sebagaimana dihimbau oleh pemerintah.
Apakah tetap berdosa bila orang lain terkena dampak virus yang berasal dari kita, sementara kita tidak tahu telah menimbulkan mudharat kepada mereka?
Seperti disebut di atas, semua ahli sepakat bahwa virus itu memang ada, dan virus itu memang berbahaya, bahkan mengancam nyawa dengan kematian. Namun, keberadaannya lebih banyak tidak dirasakan, apalagi nampak secara kasat mata.
Atas dasar kondisi yang seperti inilah Islam menerapkan prinsip pencegahan kemudaratan yang hukumnya harus diutamakan dari mengambil manfaat. Ulama menetapkan kaidah dar-u al-mafasid muqaddam ‘ala jalab al-mashalih untuk kasus seperti ini, yaitu menolak atau mencegah bahaya harus lebih diutamakan dari mengambil keuntungan. Di dunia kerja berlaku prinsip safety first, dahulukan keselamatan. Jangan tunggu bahaya datang terlebih dahulu baru dilakukan pencegahan.Tidak ada gunanya lagi. Nasi terlanjur jadi bubur. Ulama ushul dan fiqh sepakat hukum melalukan pencegahan itu adalah wajib, bila, dimana, terhadap, dan oleh siapa saja.
Oleh karena substansi imbauan pemerintah adalah pencegahan, dan hukum pencegahan itu adalah wajib, maka mengikuti himbuan pemerintah terkait protocol kesehatan covid 19 itu adalah wajib bagi semua masyarakat Indonesia, sementara melanggarnya adalah haram dari perspektif hukum Islam. Untuk ini ada kaidah fikih lagi yang berlaku: pertama, al ashl fi al amri li al-wujub, hukum asal dari perintah adalah wajib; kedua, al-amr bi al-syai, nahyun ‘an dhidhdhihi. Perintah terhadap sesuatu adalah larangan terhadap lawan dari sesuatu itu. Jadi perintah untuk memakai masker, jaga jarak dan cucitangan, adalah larangan untuk tidak pakai masker, tidak menjaga jarak dan tidak mencuci tangan. Bila hukum asal pakai masker dan yang lain itu wajib, maka hukum asal tidak pakai masker dan yang lain itu adalah haram. Allahu A’lam. **
*Penulis adalah Ketua ICMI Riau dan Ketua Perti Riau