Oleh: H. Sofyan Siroj Abdul Wahab, LC, MM
RIAUMANDIRI.ID - Beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2020 tentang Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional. Mencabut keputusan sekaligus membubarkan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, yang berlaku efektif 20 Juli 2020 sejak Perpres Nomor 82 Tahun 2020 diundangkan.
Mengikuti instruksi dari pusat, di Provinsi Riau Gubernur Riau Syamsuar juga menyampaikan pembubaran Tim Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Provinsi Riau serta menunggu arahan selanjutnya.
Dalam rapat terbatas, Presiden beri arahan bahwa komite yang dibentuk mengintegrasikan kebijakan ekonomi dan kebijakan kesehatan; mengombinasikan dua pendekatan pemulihan ekonomi dan penanganan pandemi secara integral. Lahirnya komite patut diapresiasi meski dinilai terlambat. Setelah kritikan banyak pihak akibat melonjaknya kurva pandemi nasional, yang merujuk ke data Worldmeters per 26 Juli mencapai 98.778. Melampaui China sebagai negara pusat wabah.
Agaknya keputusan new normal yang ditempuh salah perhitungan dan tidak meminta kajian para ahli sebagai pertimbangan. Sekarang biarlah itu jadi cerita di masa lalu. Semoga ke depan keadaan membaik.
Upaya Presiden memadukan pendekatan pemulihan ekonomi dan penanganan wabah sudah on the track. Tinggal sekarang menanti seperti apa breakdown langkah tersebut dan eksekusinya hingga ke daerah. Setakat ini keputusan pembentukan komite dibumbui kekesalan Presiden ihwal penyerapan anggaran stimulus penanganan COVID-19 yang masih rendah.
Dari anggaran Rp695,2 triliun baru terserap 19% atau Rp135 triliun. Saat arahan pembentukan komite, Presiden memakai perumpamaan “gas” dan “rem”. “Gas” dimaksud adalah upaya pemulihan ekonomi nasional, sementara “rem” adalah penanganan wabah.
Gas dan Rem
Alasan yang mendorong pembentukan komite dipicu leletnya serapan stimulus anggaran penanganan COVID-19. Tugas utama komite ada terobosan dan langkah akselerasi.
Tindakan cepat memang sangat dibutuhkan, namun tetap harus tepat dan cermat. Jangan lagi grasa-grusu. Apalagi ada anggaran besar yang dikelola di sini dengan fleksibelitas penggunaan yang luar biasa. Saking fleksibelnya, sampai-sampai Presiden meminta jika ada masalah penghambat dari sisi regulasi dan administrasi untuk segera direvisi agar ada percepatan dan bila perlu lakukan shortcut. Dalam kondisi dan situasi yang serba tidak menentu saat ini, bisa dimengerti beban psikologis Presiden.
Meski begitu ada hal lain pula yang perlu disadari. Bahwa pemerintah pusat dituntut ambil kendali penuh, itu oke. Tapi bukan berarti menegasikan keterbukaan untuk meminta masukan dan mendengar aspirasi dari daerah. Apalagi pasca-rasionalisasi anggaran, pengurangan dan lain-lain, daerah tentu berada dalam posisi sulit. Termasuk Riau yang makin babak belur karena DBH masih saja ada kurang bayar dari pusat.
Di tengah kondisi pandemi, keterbatasan anggaran bagi Pemda jelas mimpi buruk. Maka pemerintah pusat juga harus ada saling pengertian dan upaya untuk saling meringankan beban dengan daerah. Melalui komite inilah suara daerah meminta perlakuan yang proporsional. Agar pemulihan ekonomi tidak hanya terkonsentrasi di Jawa tapi juga di luar Jawa. Tidak hanya penyelamatan usaha skala besar tapi juga pelaku usaha Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang terbukti sebagai tulang punggung perekonomian bangsa.
Bicara stimulus ke daerah, maka perlu mempertimbangkan banyak aspek dan capaian daerah. Semisal untuk Provinsi Riau, dengan status peringkat ke-11 sebagai penyumbang investasi Penanaman Modal Asing (PMA) secara nasional.
Bahkan berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) RI, investasi di Riau Januari-Juni 2020 masuk lima besar nasional. Di luar Pulau Jawa, Riau posisi tertinggi dimana capaian investasi di Bumi Lancang Kuning menembus angka Rp22,75 triliun. Angka tersebut terdiri atas realisasi investasi PMDN sebesar Rp14,90 triliun. Berkaca pada data tersebut, maka Riau jelas tak bisa dipandang sebelah mata. Investasi daerah adalah kunci pemulihan ekonomi nasional.
Untuk itu, perlu kerja keras dan cerdas dari komite agar anggaran stimulus sektoral dan Pemda yang baru terserap 6,57% dari anggaran Rp 106,11 triliun dapat "digas”. Karena stimulus ini sangat dinantikan guna memulihkan ekonomi daerah bahkan hingga ke desa. Sebab, anggaran tersebut bisa dimanfaatkan untuk proyek padat karya.
Pemerintah pusat juga diharapkan tak hanya melihat sisi pemulihan pasokan (supply), tetapi juga menggenjot demand atau pemulihan daya beli masyarakat. Dalam situasi saat ini, mendorong demand sangat penting. Salah satunya dengan memaksimalkan program jaringan pengamanan sosial atau bantuan sosial (Bansos).
Disamping pemulihan ekonomi daerah tadi, recovery terhadap sektor UMKM yang serapannya baru terealisasi 25 persen juga dinantikan. Untuk UMKM sebenarnya sudah ada program yang berjalan. Mulai janji Presiden untuk membantu pelaku UMKM terdampak Covid-19 senilai Rp 2,4 juta yang realisasi masih belum jelas di daerah termasuk di Riau sendiri.
Selain itu, ada juga stimulus PEN, yang sayangnya menuai kritikan dari pelaku UMKM. Sistem kredit modal kerja program ini dinilai diskriminatif karena mensyaratkan UKM dalam kondisi stabil. Ini jelas kontradiktif dengan target program yang menyasar mereka yang usahanya terdampak Covid 19. Semisal bangkrut atau UKM yang dalam kondisi kesulitan. Kalau kriterianya kondisi keuangan sehat atau stabil, lantas untuk apa?
Terakhir beranjak soal “rem” yakni penanganan COVID-19 juga jadi PR utama komite. Bicara sektor kesehatan paling mengkhawatirkan. Sudahlah porsinya jauh dari memadai, realisasi juga rendah baru 7%. Melihat fakta ini, pidato Presiden yang meminta untuk menurunkan angka kematian serendah-rendahnya, tingkatkan angka kesembuhan setinggi-tingginya dan kendalikan laju pertumbuhan kasus-kasus positif baru secepat-cepatnya, bisa hambar jika komite tidak punya solusi terhadap akar persoalan. Hingga kini masih terdapat kesenjangan sarana dan prasarana kesehatan dan SDM tenaga kesehatan yang menunjang penanganan wabah di daerah.
Mengingat pandemi darurat nasional, maka perhatian pusat terhadap sarana dan penanganan kesehatan di daerah bakal menentukan nasib bangsa ini ke depan. Dalam konteks ini, maka komite harus mampu menciptakan iklim komunikasi dan koordinasi yang optimal dengan daerah.
Pemaparan di atas setidaknya memberikan gambaran, bahwa langkah ke depan perlu lebih cermat. Meminjam analogi “gas” dan “rem” yang disampaikan Presiden, maka mesti melihat keadaan. Saat ini kita ibarat berkendaraan di daerah berkabut, curam yang di tepinya jurang. Terlalu lama menekan “gas” tentu bahaya. Terus menginjak “rem” tentu kendaraan tak akan beranjak. Dan tidak mungkin pula menekan “gas” dan “rem” secara bersamaan.
Oleh karena itu dituntut kecakapan, rasionalitas dan totalitas agar bisa selamat. Walaupun antara “gas” dan “rem” tetap harus ada yang prioritas dan dominan, yakni keselamatan dan kesehatan jiwa warga. Karena sekali lagi, manusia yang memproduksi ekonomi bukan sebaliknya.
*Penulis adalah anggota Komisi III DPRD Provinsi Riau