RIAUMANDIRI.ID, PEKANBARU - Langkah Majelis Pengurus Wilayah Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) Riau untuk menyampaikan aspirasi berupa pernyataan sikap terkait Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) terus berlanjut.
Setelah mendatangi dua orang anggota DPR RI asal Riau, Drs H Achmad, MSi (Fraksi Demokrat) dan H Arsyadjuliandi Rachman, MBA (Fraksi Golkar), pada Selasa (7/7/2020) giliran anggota Fraksi PKS DPR, H Syahrul Aidi Maazat, Lc, MA, yang ditemui jajaran pengurus ICMI Riau.
Dalam pertemuan yang dilakukan di salah satu rumah makan di Jalan Arifin Achmad, Pekanbaru, tampak hadir dari ICMI Riau, Prof Dr Alaiddin Koto, MA (Ketua), Muhammad Sahal, MSi (Sekretaris), Prof Dr Sudirman M. Johan, MA (Ketua Dewan Pakar), dan Ir H Mansyur HS, MM (Bendahara).
Di hadapan Syahrul Aidi, Ketua ICMI Riau Prof Alaiddin menjelaskan kronologi kenapa ICMI Riau menyatakan menolak RUU HIP.
"Setalah mencermati RUU HIP dan menyerap aspirasi masyarakat, baik yang berada di berbagai forum pertemuan maupun yang berkembang di masyarakat awam pada umumnya, maka Pengurus ICMI Riau menyatakan menolak RUU HIP," ujarnya.
ICMI Riau, kata Alaiddin, meminta kepada Presiden dan Ketua DPR RI untuk menghentikan proses pembahasan RUU HIP tersebut dan mencabut dari Prolegnas, demi ketenangan dan kenyamanan seluruh warga negara Republik Indonesia.
"Hari ini (Selasa, red) tiba giliran menemui Pak Syahrul Aidi, anggota DPR dari Fraksi PKS. Kami minta Pak Syahrul untuk meneruskan aspirasi masyarakat ini ke Pimpinan Fraksi dan anggota DPR RI yang lainnya. Supaya kita bersama menjaga NKRI dengan cara mencegah kemungkinan terjadinya perpecahan di negeri ini. Kami melihat jika RUU HIP ini dipaksakan, bisa menjadi faktor terbesar pemicu perpecahan tersebut," ungkap Alaiddin yang juga Guru Besar UIN Suska Riau.
Menanggapi hal tersebut, Syahrul Aidi Maaza, menyatakan, sebagai wakil Riau dari Fraksi PKS, dirinya tentu wajib menerima aspirasi ICMI Riau soal penolakan RUU HIP, dan akan menyampaikan ke pimpinan dan anggota fraksi.
"Sesungguhnya aspirasi ini sudah sejalan dengan sikap Fraksi PKS DPR RI. Doakan mudah-mudahan Fraksi PKS bisa berjuang semaksimal mungkin dan juga bisa dipahami oleh fraksi lain, sehingga ketika voting, yang menjadi hukum di demokrasi ini, semua fraksi mendengar aspirasi yang disampaikan oleh masyarakat," jelasnya.
Berikut 7 pernyataan sikap ICMI Riau terkait penolakan terhadap RUU HIP:
Mencermati hadirnya Rancangan Undang-Undang Haluan ldeologi Pancasila (RUU HIP), maka Majelis Pengurus Wilayah lkatan Cendekiawan Muslim se-lndonesia (ICMI) Riau, menyatakan sikap sebagai berikut:
1. RUU HIP mengerdilkan (downgrade) Pancasila yang merupakan falsafah bangsa dan dasar Negara, menjadi norma hukum positif yang bersifat instrumental.
2. Muatan materi Pancasila dalam RUU HIP, yang merujuk pada narasi 1 Juni 1945 merupakan pengingkaran terhadap kesepakatan luhur danDekrit Presiden 5 Juli 1959, sehingga menyalahi kehidupan berbangsa dan bernegara.
3. RUU HIP menjadikan Keadilan Sosial sebagai sendi pokok Pancasila (pasal 6 ayat 1), secara tidak langsung mengamandemen Pasal 29 ayat 1 UUD 1945, “Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Padahal sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai “causa prima” Pancasila. Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi titik sentral dari kehidupan kenegaraan.
4. Meminta Presiden RI untuk menggunakan hak konstitusionalnya, menolak pembahasan RUU HIP dan menyampaikan surat penolakannya ke DPR RI.
5. Meminta Pimpinan DPR RI dan fraksi-fraksi di DPR RI untuk membatalkan RUU HIP.
6. Mendukung sepenuhnya Maklumat Dewan Pimpinan MUI Pusat dan Dewan Pimpinan MUI Provinsi se-lndonesia, nomor: Kep-1240/DP• MUINl/2020, tertanggal 20 Syawal 1441 H / 12 Juni 2020 M.
7. Menyerukan kepada seluruh umat Islam agar berada dalam satu barisan bersama Ulama, serta senantiasa bersiap siaga menghadapi segala kemungkinan adanya pihak-pihak yang memiliki agenda tersembunyi di balik penyusunan RUU HIP.
Sebelumnya, RUU HIP juga telah mendapat penolakan keras dari banyak pihak, seperti dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, GP Ansor, hingga para purnawirawan TNI-Polri. Tudingan mereka terhadap peraturan ini beragam, dari membangkitkan komunisme, hingga dianggap terlalu sekuler atau bahkan tidak ada urgensinya sama sekali.