Oleh: Prof Dr Alaiddin Koto, MA
RIAUMANDIRI.ID - Suatu negara lahir karena kesepakatan, dan kesepakatan lahir karena kepercayaan. Rasa saling percayalah yang mengikat dan menjadi buhul untuk langgeng atau tidak langgengnya umur sebuah negara. Semakin kuat buhul itu, semakin kuat dan kokohlah negara tersebut. Sekeras dan seberat apapun ancaman yang datang, selama buhul yang bernama kepercayaan itu kuat, selama itu pulalah negara tersebut akan eksis. Ia akan membuat semua unsur yang ada di dalamnya menjadi padu dan saling bahu membahu menghadapi semua tantangan.
Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Ke bukit sama mendaki, ke lurah sama menurun. Telentang sama minum air, telungkup sama makan tanah. Jauh sama diturut, dekat sama dijelang. Semua seayun langkah serengkuh dayung dalam ikatan yang bernama kepercayaan. Al-Qur’an menyebutnya... shaffan ka-annahum bunyanun marshush, barisan yang kompak seperti bangunan yang tersusun kokoh. Allah mencintai bangsa dan negara yang seperti ini (QS.61:40).
Indonesia bisa merdeka, lepas dari belenggu penjajah yang sudah mencekeram lebih dari tiga abad, misalnya, adalah salah bukti kebenaran ayat ini. Kesatuan yang kokoh, kekompakkan yang utuh berjuang bersama di bawah pemimpin yang dipercaya, menjadikan Allah mencintai bangsa Indonesia dan menurunkan maunahNya membuat hati musuh menjadi gentar walau mereka punya senjata lengkap dan moderen, serta menggerakkan hati bangsa-bangsa lain di dunia untuk membantu dan mengakui kemerdekaan Indonesia. Itulah buah dari kekompakkan yang dibuhul oleh rasa saling percaya yang kuat. Sebaliknya, bila buhul itu yang longgar, apalagi putus, maka akan berserak dan runtuhlah negara itu.
Pemimpin suatu bangsa atau negara yang arif akan selalu menjaga sikap saling percaya itu di kalangan rakyatnya. Ia rawat sikap itu dengan menempatkan dirinya sebagai komponen utama yang dapat dipercaya terlebih dahulu. Apa yang ia katakan akan terbukti dalam perbuatan. Apa yang ia janjikan akan wujud dalam kenyataan. Antara kata dan perbuatannya adalah satu. Antara janji dan wujudnya adalah satu di setiap kebijakannya. Ia menjadi contoh dalam merawat kepercayaan itu, dan ia juga menjadi pelaku utama dalam perawatan itu. Sikap tersebut, disengaja atau tidak disengajanya, akan tertular kepada para bawahannya, dan seterusnya menjadi ikutan bagi semua masyarakat yang dipimpinnya sampai level terbawah.
Adalah petaka bagi suatu bangsa bila sang pemimpin justru menjadi sumber utama longgar atau putusnya buhul yang bernama kepercayaan itu. Perkataannya penuh dengan kebohongan. Janjinya penuh dengan kepalsuan. Kebijakan-kebijakannya sering menimbulkan permasalahan yang membuat rakyatnya kecewa dan putus asa. Sekali dia berbohong, sekali rakyatnya kecewa. Dua kali dia berbohong, dua kali rakyatnya kecewa. Tiga kali dia berbohong, rakyatnya mulai tidak percaya. Empat kali dia berbohong, rakyatnya mulai curiga. Berkali-kali dia berbohong, rakyatnya mulai kehilangan harapan, putus asa. Kecurigaan itu akan semakin membesar bila sifat pemimpin itu dilakukan juga oleh orang-orang yang berada di sekitar kekuasaannya. Begitu juga bila janji yang ia ucapkan mengalami nasib yang sama dengan apa yang ia katakan. Semakin sering janji tidak ditepati, semakin menggununglah ketidakpercayaan itu di semua level masyarakat.
Akibatnya, hampir semua ucapan dan janji pemimpin tidak dipercaya atau bahkan dicurigai. Selalu ada rasa curiga di setiap ucapan dan kebijakan yang diterapkan pemimpin. Mereka merasa seakan hidup sendiri-sendiri di tengah bangsa yang besar. Urus diri sendiri-sendiri, dan bertanggungjawablah dengan perbuatan sendiri-sendiri pula. Saat itulah buhul bangsa putus dan lepas. Semua komponen yang ada di dalamnya berserakan menjadi “hewan-hewan” liar yang sangat susah untuk dijinakkan dan dikumpulkan kembali. Di kondisi seperti inilah berbagai pihak yang ingin menguasai semua potensi yang ada di negara itu menangguk dengan sepuas-puasnya di air keruh, sampai akhirnya tamatlah riwayat bangsa atau negara.
Agaknya, berkaca kepada berbagai negara yang sudah bubar di dunia akibat dari sebab seperti disebut di atas, kita perlu belajar dan mengambil iktibar agar hal yang sama tidak sampai terjadi di negeri yang didirikan oleh para pejuang ini. Sebelum semua benar-benar menjadi terlambat, semua hal yang akan memungkinkan lahir dan membesarnya rasa curiga di kalangan anak-anak bangsa perlu dihindari sekuat mungkin.
Pembahasan Rancangan Undang-Undang Haluan Idiologi Pancasila (RUU HIP) yang terkesan sangat dipaksakan di saat masyarakat risau dan gelisah menghadapi wabah virus corona, misalnya, adalah diantara pemicu yang benar-benar telah melahirkan kecurigaan yang amat tinggi di negeri ini. Ada apa sesungguhnya yang dimaui oleh para perancang undang-undang itu, sehingga seakan-seakan digesakan agar selesai di saat rakyat sedang dalam keadaan kecemasan baik secara medis maupun secara ekonomi. Agenda apa yang sedang mereka ingin segera wujudkan saat masyarakat lagi lengah memikirkan nasib diri dan keluarganya akibat wabah corona. Sunggu, masyarakat benar-benar curiga, Seolah-olah si perancang undang-undang itu sedang menggunakan kesempatan di tengah kesulitan dan kesempitan yang dialami masyarakat, sebagai sebuah kecurigaan yang sudah sangat wajar dan masuk akal.
Oleh sebab itu, tugas yang paling utama harus dilakukan sekarang adalah memulihkan kembali rasa percaya di kalangan masyarakat terhadap negara sambil mengatasi persoalan-persoalan yang diakibatkan oleh wabah corona ini. Saya berpendapat, virus curiga ini jauh labih berbahaya dibanding dengan virus corona. Ancaman virus corona adalah nyawa orang perorang. Tetapi ancaman virus curiga adalah nyawa bangsa dan negara. Allah A’lam.
*Penulis adalah Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI ) Riau dan Ketua Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) Riau