RIAUMANDIRI.ID, JAKARTA - Facebook tak lagi membolehkan media-media yang dikontrol pemerintah Amerika Serikat (AS) beriklan politik di platformnya.
Langkah ini merupakan bagian dari upaya Facebook mencegah campur tangan asing dalam pemilu AS tahun 2020 dan mendengarkan kritikan tajam yang menilai Facebook gagal melakukannya pada pemilu di 2016.
"Mulai musim panas ini, kami akan mulai memblokir iklan dari outlet media di AS. Kami sangat berhati-hati untuk melakukan perlindungan ekstra terhadap berbagai jenis pengaruh asing dalam debat publik menjelang Pemilu di November 2020 di AS," kata Facebook.
Seperti dikutip dari CNBC, adapun media-media yang berada dalam daftar blokir ini antara lain adalah Russia Today dan Sputnik dari Rusia, dan CCTV serta Xinhua News dari China.
Terkait hal ini, juru bicara Russia Today menyebutkan bahwa langkah yang dilakukan Facebook tak lain adalah definisi dari kediktatoran dan sensor teknologi.
"Melabeli outlet media asing yang independen secara editorial sebagai apa pun, memupuk prasangka dan xenophobia, adalah contoh utama dari 'berita palsu' yang seharusnya diperangi Facebook," ujar dia.
Tak hanya melarang iklan politik, Facebook juga mulai melabeli halaman dan postingan dari media-media yang dikontrol negara, dan menampilkan lebih banyak informasi tentang siapa pemilik dan yang menjalankan media tersebut agar lebih transparan.
Keputusan Facebook menerapkan label dan memblokir iklan politik dari media yang dikendalikan pemerintah ini juga masih berkaitan dengan isu anti-rasisme yang sedang merebak. Facebook dihujani kritikan karena tidak memoderasi postingan Presiden AS Donald Trump terkait kematian warga kulit hitam AS, George Floyd.
Mark Zuckerberg kukuh tidak akan menghapus postingan yang dinilai banyak pihak mengglorifikasi kekerasan. Lembaga hak asasi manusia pun mengkritiknya keras, bahkan menyebutnya berbahaya.
Zuck memang mengaku tidak sepakat dengan perkataan Trump, tapi membiarkannya atas alasan hak kebebasan berpendapat pengguna platformnya.
"Secara pribadi, saya bereaksi negatif mendalam terhadap retorika yang memecah belah ini. Momen ini adalah panggilan untuk bersatu dan tetap tenang. Kita perlu berempati untuk orang-orang dan komunitas yang tersakiti atas kejadian ini. Kita harus bersatu sebagai negara untuk mengejar keadilan dan memutus siklus ini," tulisnya.
Ia melanjutkan, dirinya punya tanggung jawab untuk tidak bereaksi dalam kapasitas pribadi, melainkan sebagai pemimpin sebuah perusahaan teknologi. Suami Priscilla Chan ini mengatakan tak bisa sepenuhnya membatasi kebebasan berpendapat seseorang.