RIAUMANDIRI.ID, JAKARTA - Dosen Pemikiran Politik Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Din Syamsuddin mengungkapkan, ada tiga syarat untuk memakzulkan kepala negara. Tiga syarat ini merujuk pada pendapat pemikir politik Islam, Al Mawardi.
Syarat pertama, tidak adanya keadilan. Pemimpin bisa dimakzulkan bila tidak bisa berlaku adil, misalnya hanya menciptakan satu kelompok lebih kaya.
"Prinsip freedom menyerukan kepada rakyat untuk melawan pemimpin yang zalim, kepimimpinan yang tidak adil terutama jika kepemimpinan itu membahayakan kepentingan bersama seperti melawan konstitusi," kata Din.
Din hadir dalam diskusi 'Menyoal Kebebasan Berpendapat dan Konstitusional Pemakzulan Presiden di Era Pandemi Covid-19'. Diskusi ini digelar oleh Masyarakat Hukum Tata Negara Muhammadiyah (MAHUTAMA) dan Kolegius Jurist Institut (KJI) melalui webinar, Senin (1/6/2020).
Syarat kedua, lanjut Ketua Dewan Pertimbangan MUI itu, ketika pemimpin tidak memiliki ilmu pengetahuan yang cukup. Pemimpin tersebut juga tidak memberi ruang bagi dunia akademik untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
"Kalau ada pembungkaman kampus, pembungkaman akademik, pemberangusan mimbar akademik itu sebenarnya bertentangan secara esensial dengan mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam praktik-praktik sebaliknya adalah pembodohan kehidupan bangsa," kata Din.
Terakhir, pemimpin bisa dimakzulkan ketika dia kehilangan kewibawaan dan kemampuan memimpin, terutama dalam masa kritis. Terlebih, jika dalam situasi kritis, pemimin mudah didikte atau ditekan orang di sekelilingnya atau pihak luar.
"Seorang pemimpin itu akan dilihat saat situasi kritis, bisakah dia memimpin? Maka oleh para ulama mengatakan bisa dimakzulkan jika seorang pemimpin tertekan oleh kekuatan-kekuatan lain, terdikte kekuatan-kekuatan lain, terdikte oleh orang baik warga atau orang terdekatnya untuk bisa menjalankan kepemimpinannya," papar Din.
Dia melanjutkan, Imam Al-Ghazali juga sependapat dengan Al Mawardi soal syarat ketiga untuk memakzulkan pemimpin. Bahkan Imam Al-Ghazali menegaskan, pemimpin bisa dimakzulkan ketika menzalimi rakyatnya.
"Imam Al-Ghazali menyetujuai bahkan memungkinkan adanya pemakzulan dalam istilah beliau ketika ada kezaliman, represif," pungkasnya.