Oleh: Nugroho Noto Susanto
Anggota KPU Riau
RIAUMANDIRI.ID - Dalam perayaan Hari Raya Idul Fitri di Indonesia, terdapat satu budaya saling meminta maaf antara saudara, teman, dan keluarga dekat. Kesakralan Idul Fitri tidak akan sempurna tanpa tindakan maaf memaafkan. Di beberapa budaya di tanah air, misalnya terdapat budaya sungkeman, sebagai sarana untuk saling memaafkan. Sungkeman bagi orang Jawa, diikuti dengan ucapan permohonan maaf dengan bahasa halus. Anak-anak milenial zaman now, dipastikan sulit mengikuti ungkapan lebaran ala sungkeman itu.
Saya memiliki pengalaman tak terlupakan bagaimana meriahnya suasana lebaran di Yogyakarta. Selepas salat Id di lapangan, bagi warga di mana saya tinggal dulu, dilanjutkan melakukan ‘syawalan’ di masjid. Tentunya ada juga yang tak datang karena mungkin ada halangan. Syawalan di aesjid berisi tausiyah yang disampaikan oleh seorang ustaz/ustazah berisi nasehat kebajikan. Selepas tausiyah seluruh jamaah berdiri melingkar, dipisahkan laki-laki dan perempuan, dan berputar bersalaman untuk saling memaafkan. Puncaknya adalah makan bersama dengan menu komplit. Namanya juga lebaran, masak makan nasi telur sama indomie rebus. Sebagai anak kos, acara puncak ini sebenarnya yang sangat diminati.
Idul Fitri 2020 ini, nuansa kebudayaan dalam perayaan Idul Fitri itu tidak mungkin dilakukan. Bangsa kita sedang diuji dengan adanya Covid-19. Pemerintah melalui gugus tugas nasional dan daerah mengimbau agar pelaksanaan ibadah dilakukan di rumah. Begitupun fatwa dari ormas keagamaan. Sehingga praktik salaman dan maaf memaafkan digantikan dengan sarana gawai (handphone/mobile phone). Lho emang bisa salaman pakai HP? Bisa saja, tinggal kirim gambar bersalaman, trus ucapan maaf lahir batin.
Sejak tanggal 29 Ramadan HP saya sudah ramai banjir kiriman ucapan maaf Idul Fitri. Bahkan ada lebaran kurang 5 hari, sudah ada yang mengucapkan. Saya berpikir, kawan ini kenapa militan sekali, puasa masih beberapa hari tetapi sudah mengucapkan lebaran. Ada pula kawan yang mengirim gambar ketupat, ada pula yang kirim gambar itak kelamai, (semacam dodol atau jenang khas Rokan Hulu dan Riau pada umumnya), disertai ucapan lebaran. Saya katakan padanya, kenapa gak kirim langsung bro, sambil kongkow kita? “Kan sedang ada Physical distancing kawan”, jawabnya.
Terkait menjaga jarak fisik (physical distancing), di antara warga yang sebenarnya dirugikan dari kebijakan itu adalah anak-anak yang usia-usia SD, SMP, bahkan juga usia SMA. Sudah mafhum kita ketahui kalau pas lebaran, sebenarnya ini momentum “perburuan” rejeki bagi mereka. Di pulau jawa, tradisi memberi “uang sedekah” itu populer disebut fitrahan. Mungkin karena idul fitri itu dipahami sebagai kembali ke fitrah dasar manusia, dimana sudah fitrahnya pula manusia itu saling mengasihi bantu membantu, maka orang jawa menyebutnya dengan fitrahan.
Bagi anak-anak yang silaturahim lebaran ke rumah-rumah, seringkali mendapat ‘amplop’ yang berisi lima ribu, sepuluh ribu atau dua puluh ribu. Besaran amplop sering disesuaikan dengan usia anak-anak itu. Bayangkan kalau satu dusun, satu RW yang dikunjungi. Atau yang punya “jejaring’ bagus, atau dibekali “kenekatan’ yang prima, dia bisa melintasi banyak dusun, atau banyak RW, bahkan desa. Cerita istri saya, dulu saat menjadi anak-anak, dia bisa dapat lebih satu juta rupiah dari ‘perburuan’ rejeki itu. Ternyata, Tunjangan Hari Raya juga diminati anak-anak.
Istilah lebaran diambil dari bahasa Jawa, yang berarti ‘selesai’. Kalau bertanding el clasico, sudah usai, lalu ada yang bertanya apakah masih berlangsung, maka bisa dijawab “wes bar” (sudah selesai). Mengingat kita puasa Ramadan telah usai, maka disebut lebaran.
Lebaran, diikuti dengan istilah lebur. Lebur artinya menghilangkan, melupakan, meniadakan. Dalam kontek lebaran, yang dileburkan adalah kesalahan, kekhilafan. Makanya menjadi jamaklah budaya maaf memaafkan itu. Momentum lebaran, juga hendaknya diikuti sikap labur.
Labur bermakna memutihkan, mensucikan. Sebelum lebaran, banyak warga di desa-desa yang mengecat rumahnya warna putih. Kegiatan itu disebut ‘melabur’. Pesan yang disampaikan adalah setelah puasa usai, lalu dileburkan kesalahan, kemudian disucikan/diputihkan dengan amalan dan hubungan baik.
Puncaknya adalah luber. Air yang dimasukkan ke bak mandi, atau ember, lalu penuh dan terdapat air yang keluar disebut meluber. Nah orang dulu menggunakan metafora luber itu untuk menggambarkan penuhnya amalam kebajikan manusia ketika lebaran, lebur, labur dijalankan dengan penuh ketulusan dan kesungguhan.
Di masyarakat Melayu, budaya syawalan sering dikenal dengan istilah halal bi halal. Halal berarti sah, boleh, sesuatu yang baik dan positif. Sehingga usai menjalakan puasa, bermaaf-maafan, kunjung mengunjungi, sehingga jiwa manusia menjadi lebih tenang, penuh luapan kegembiraan, dan komunikasi sosial menjadi lebih sehat. Maka disebutlah halal bi halal.
Budaya maaf memaafkan itu, secara sosiologis dan psikologis, sangat menunjang lahirnya budaya komunikasi massa yang baik. Komunikasi massa yang positif, akan berdampak pada lahirnya hubungan sosial yang harmonis, penuh tenggang rasa, saling menghargai, saling memaafkan, dan mendapat keampunan Allah SWT. Situasi negeri seperti itu dikenal dengan negeri yang baik, penuh keampunan Allah SWT, dikenal dengan Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafûr. (Q.S As Saba’:15)
Pada konteks kehidupan bernegara, memaafkan ini menjadi penting bagi perjalanan sejarah bangsa. Raja kerajaan Belanda, Willem-Alexander pada Maret 2020 meminta maaf ke seluruh rakyat Indonesia akibat tindakan kolonialisasi pada rakyat Indonesia. Perdana Menteri Austalia Kevin Rudd saat masih menjabat, persis di gedung parlemen Australia, memintaa maaf kepada rakyat Aborigin akibat penerapan kebijakan diskriminasi.
Pernyataan Presiden Nelson Mandela kepada rakyat Afrika, “there is no future in South Africa without forgiveness” (tidak ada masa depan Afrika Selatan tanpa sikap memaafkan) adalah batu loncatan amat penting bagi perjalanan Afrika yang juga punya masa lalu kelam akibat kebijakan Apartheid yang mereka alami.
Selama menempuh hidup di dunia yang fana ini, tidak ada satupun manusia yang luput dari salah, dosa. Nenek moyang kita, Nabi Adam AS dan bunda Siti Hawa diturunkan ke bumi justru karena melakukan kesalahan. Nabi Adam dan Hawa telah diingatkan Allah swt untuk tidak mendekati pohon khuldi. Namun akibat digoda Iblis, dan dorongan nafsu manusia, keduanya melanggar perintah Allah. Kisah tersebut diabadikan Allah swt di antaranya dalam Al Qur’an surat Al Baqarah: 35-38, dan Al- A’raf: 22-24.
Islam adalah agama yang memberi peluang bagi setiap pemeluknya untuk melakukan pertobatan. Tak terkecuali Adam As. dan Hawa. Keduanya menangisi dan menyesali kesalahan yang pernah mereka lakukan. Mereka dengan sungguh-sungguh memohon ampunan Allah swt. (QS. al-A'raf (7):23) Sudah menjadi Haqq al-ilâhî atau hak Allah SWT pula untuk dimintai ampunan jika kita bermaksiat kepada Allah Swt. Sehingga Allah SWT,—yang juga disebut Al Ghaffur,sang pemberi ampunan—, menerima pertaubatan Adam dan Hawa. (Al Baqarah:37)
Kisah pertobatan Adam as dan Hawa, memberi pesan bahwa memohon ampun dan bertobat kepada Allah swt merupakan sebuah keharusan. Melalui tobat nasuha (nashûh-an) yakni sikap jujur mengakui dan menyesali dosa, dibarengi tekad untuk tidak mengulangi lagi dosa atau kesalahannya, dan disusul dengan amal kebajikan, InsyaAllah Tuhan yang maha pengampun, dimana lebih besar Rahmah-Nya daripada amarah-Nya, akan memberi keampunan kepada hamba-Nya.
Lain halnya jika kesalahan itu berdimensi sosial, akibat adanya interaksi dengan orang lain. Maka prinsip Haqq al-âdamî (hak bani adam) dimintai maaf harus kita penuhi. Meskipun tentunya memberi maaf terlebih dulu sebelum muncul permintaah maaf itu lebih mulia di mata Allah SWT. (Ali Imran;133-134) Karena itu pulalah, budaya maaf memaafkan di hari lebaran perlu terus dilestarikan.
Akhir kalam, dengan kerendahan hati, saya dan keluarga memohon maaf lahir dan batin atas kekhilafan dan kesalahan kami kepada seluruh sahabat. Semoga amal ibadah kita diterima Allah Swt. Dan bangsa Indonesia diberikan keampunan Allah Swt sehingga menjadi negeri Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafûr. ***