Tanjungpinang (HR)- Pencemaran minyak kapal asing ke perairan Bintan dan Batam, Provinsi Kepulauan Riau, merupakan bukti lemahnya diplomasi maritim Indonesia khususnya mengenai Selat Malaka, kata pengamat hubungan internasional Sayed Fauzan Riyadi.
"Bukan rahasia lagi bahwa diplomasi maritim di Selat Malaka masih didominasi oleh Singapura," ucapnya yang juga dosen di Universitas Maritim Raja Ali Haji, di Tanjungpinang, baru-baru ini.
Apalagi sejak peristiwa serangan menara kembar WTC, Amerika Serikat, pada 11 September 2001, kata dia, Singapura mengundang Angkatan Laut Negeri Paman untuk berpatroli di Selat Malaka. Lebih dari 60 persen kapal yang melewati selat itu menggunakan jasa kepelabuhanan dan maritim Singapura.
"Namun soal limbah yang terjadi setiap tahun, tidak ada kepedulian dari Singapura," katanya.
Sayed menjelaskan dalam isu kabut asap, diplomasi Singapura berhasil memaksa Indonesia meratifikasi perjanjian ASEAN tentang polusi kabut asap lintasbatas negara yang membuat negeri ini di bawah tekanan asing setiap kali muncul kabut asap akibat kebakaran hutan di beberapa kawasan di Sumatera dan Kalimantan," ujarnya.
Menurut dia, sudah selayaknya pemerintah, terutama kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Kelautan dan Perikanan proaktif menyelesaikan masalah ini. Jika diperlukan bentuk saja badan nasional penanggulangan pencemaran laut, agar meningkatkan efektivitas dan efisiensi koordinasi lintaslembaga.
Kebijakan pengutamaan perbatasan yang selama ini dijalankan pemerintah pusat seringkali luput dalam melihat permasalahan seperti ini. "Sayangnya, pemerintah provinsi tidak diberikan kewenangan untuk turut aktif menyelesaikannya, hanya sebatas memberi laporan. Padahal sumber daya yang ada cukup mampu memberikan pengaruh bagi penyelesaian masalah," katanya. (ant/ivi)