JAKARTA (HR)- Asosiasi Bank Pembangunan Daerah (Asbanda) berharap DPR melibatkan mereka dalam pembahasan Revisi UU Perbankan. Salah satu poin penting yang perlu diatur adalah besaran dividen yang disetor oleh kalangan Bank Pembangunan Daerah (BPD).
Menurut Eko Budiwiyono, Ketua Umum Asbanda, BPD memegang peran sebagai agen pembangunan di masing-masing daerahnya. Namun disisi lain, sebagai Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), BPD dituntut menjadi salah satu sumber pendapatan bagi pemerintah daerah.
"Oleh sebab itu, kewajiban membayarkan dividen kepada pemegang saham para pemerintah daerah memang tak mungkin dihapus," kata Eko di Jakarta, belum lama ini.
Eko mengakui, ada beberapa BPD yang dikenakan rasio pembayaran dividen yang terlalu besar. Bahkan ada yang diwajibkan menyetorkan dividen sampai 70% dari laba bersih yang diperoleh dalam setahun. "Tentu ini akan memberatkan karena BPD butuh tambahan modal untuk berkembang. Hal seperti inilah yang kami harapkan bisa diatur dalam UU perbankan yang baru nanti," pungkas Eko.
Kendala permodalan memang ditengarai menjadi salah satu problem klasik BPD. Sejauh ini, baru Bank Jabar Banten (BJB) dan Bank Jatim yang masuk kelompok BUKU III (kelompok bank dengan modal inti antara Rp 5 triliun - Rp 30 triliun). Sisanya, keba-nyakan BPD masih berkutat di kelompok BUKU II (kelompok bank dengan modal inti antara Rp 1 triliun - Rp 5 triliun) dan BUKU I (kelompok bank dengan modal inti antara Rp 100 miliar - Rp 1 triliun).(kon/ara)