Helat politik 2014 telah menghasilkan pucuk pemimpin bangsa Indonesia, yakni Presiden Joko Widodo. Sosoknya menjadi sangat fenomenal dalam kancah politik nasional. Rekam jejak politiknya diawali sebagai Walikota Solo, kemudian menjadi Gubernur DKI Jakarta. Belum sempat menuntaskan tugasnya sebagai Gubernur DKI, ia mencalonkan diri sebagai teraju nomor satu bangsa ini dan akhirnya terpilih menjadi Presiden RI ke-7.
Terpilihnya Jokowi menjadi presiden tidak terlepas dari peran media yang memblow up setiap aktivitas Jokowi. Tradisinya untuk turun langsung melihat rakyat yang dikenal dengan blusukan menjadi istilah yang menasional. Bahkan harian Harian The New York Times Amerika, menulis artikel dengan judul “In Indonesia, A Gavernor at Home on TheStreets”. Menggambarkan sosok Jokowi peduli rakyat dengan tipikal kepemimpinan blusukannya.
Kerinduan akan pemimpin yang dekat dengan rakyat inilah yang membuat rakyat jatuh cinta pada Jokowi. Rakyat begitu besar ekspektasinya terhadap pemimpin yang pro rakyat. Dalam kacamata rakyat, pemimpin yang dekat dengan rakyat dan sering blusukan pasti akan memperhatikan rakyat. Rasa cinta itu semakin kuat dengan janji dan slogan selama kampanye bahwa Jokowi adalah pemimpin yang lahir dari rakyat.
Kini, enam bulan memimpin rakyat, mimpi rak-yat tidak kunjung menjadi nyata. Malah kehidupan rakyat diberikan tontonan dan hidangan yang pahit. Hidangan tersebut diantaranya. Pertama, janji kabinet ramping dan bukan bagi-bagi kursi bagi parpol pendukung, nyatanya tidak menjadi kenyataan. Faktanya jumlah kabinet masih seperti era SBY dan hanya ada beberapa nama kementeriannya saja yang diganti. Orang-orang parpol pendukung masih menduduki jabatan menteri. Kontras sekali dengan penyataan selama masa kampanye Pilpres.
Kedua, naiknya harga bahan bakar minyak (BBM). Walau harga minyak dunia turun, tapi pemerintah dengan alasan subsidi yang tidak tepat guna, terus dengan gagah berani menaikkannya. Suara penolakan rakyat seakan nyaris tidak ada pengaruhnya. Penolakan rakyat disambut dengan “kartu sakti”, yakni Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS). Lahirnya kartu sakti hanya mampu menghilangkan sedikit rasa sakit rakyat, namun tidak menyembuhkannya.
Ketiga, kisruh parlemen. Kekalahan kubu partai pendukung pemerintah yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH) menempati kursi pimpinan dan fraksi, menjadi alasan untuk membuat DPR tandingan. Akibatnya beberapa agenda pemerintah tidak bisa berjalan dengan baik, karena tidak bisa melakukan pertemuan dengan komisi-komisi di DPR. Bahkan, Jokowi melarang anggota kabinetnya mengadakan pertemuan dengan DPR sebelum DPR dapat menyelesaikan masalahnya.
Keempat, anjloknya harga rupiah. Harga rupiah yang mencapai level Rp 13000 per Dolar Amerika Serikat (AS) bahkan menjadi yang tertinggi semenjak era reformasi. Melemahnya harga rupiah ini direspon pemerintah sebagai akibat membaiknya perekonomian AS bukan terkait masalah fundamental ekonomi Indonesia. Maknanya pemerintah menganggap hal yang biasa dan tak perlu dikhawatirkan. Padahal, bila terpuruknya harga rupiah tidak ditangani dengan bijak akan berpengaruh terhadap harga-harga kebutuhan rakyat.
Kelima, melonjaknya harga beras. Harga beras sempat mencapai angka tertinggi pada akhir Februari lalu. Untuk ukuran beras di pasar Cipinang yang menjadi barometer harga beras nasional, semuanya mengalami kenaikan. Harga beras jenis IR 2 yang biasanya dipasarkan Rp 8.500 per kilogram, kini dijual Rp 11 ribu per kilogram. Hal yang sama juga ter jadi pada beras IR 1 yang biasanya Rp 9.500 per kilogram, kini Rp 12 ribu per kilogram. Begitu pun harga beras jenis premium tak terhindar dari kenaikan harga. Biasanya, dibanderol Rp 10 ribu per kilogram, kini menjadi Rp 13 ribu per kilogram (Republika, 24 Februari 2015)
Keenam, dualisme partai politik. Genderang perang yang terjadi pada dua partai senior, yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Golkar terus bergelora. Suasana menjadi semakin gaduh dan keruh, ketika kubu Partai Golkar hasil Munas Ancol disahkan kepengurusannya oleh Kementerian Hukum dan HAM. Alhasil, saling gugat dan gusur di kepengurusan Golkar menjadi peristiwa yang tak terelakkan.
Menengok persoalan yang menghantui pemerintahan Jokowi-JK di atas, seakan menjadi bukti bahwa janji yang disemai semasa kampanye, sulit tumbuh dan ditagih rakyat. Janji untuk menyejahterakan rakyat kecil menjadi impian tak pasti. Kehidupan politik yang sarat kegaduhan dan polemik seakan menjadi indikator bangsa ini berjalan di atas rel yang salah.
Akibatnya, rakyat yang terlanjur menggantung mimpi pada pundak Jokowi harus sabar untuk menikmati realisasi janji.
Apalagi dengan anjloknya harga rupiah dan naiknya BBM pada tanggal 28 Maret kemarin. Artinya rakyat akan menghadapi melonjaknya harga-harga barang dan sekali lagi, kesabaran rakyat sedang di uji oleh pemerintahan Jokowi. Dan akhirnya rakyat hanya bisa menatap dan berharap, bahwa janji pemerintah untuk menyejahterakan rakyat tidak berada dalam keranda janji. Wallahu’alam.
Pemerhati sosial politik