RIAUMANDIRI.ID, JAKARTA – Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan bahwa orang yang menderita gejala virus korona untuk menghindari penggunaan obat-obatan yang mengandung ibuprofen. Imbauan itu muncul setelah pejabat Prancis memperingatkan bahwa obat anti-inflamasi itu bisa memperburuk efek virus pada tubuh pasien.
Ibuprofen merupakan obat yang digunakan untuk meredakan rasa nyeri dan peradangan, misalnya pada penderita sakit gigi, nyeri haid, dan radang sendi. Obat ini tersedia dalam bentuk tablet 400 mg, sirup, dan suntikan, ada yang berdiri tunggal ada pula yang sudah dikombinasikan dengan jenis obat lain. Hampir serupa, anti-inflamasi adalah kelompok obat yang digunakan mengurangi peradangan, sehingga meredakan nyeri dan menurunkan demam.
Peringatan oleh Menteri Kesehatan Prancis Olivier Veran itu mengikuti sebuah studi baru-baru ini dalam jurnal medis The Lancet, hipotesisnya adalah suatu enzim yang didorong oleh obat anti-inflamasi seperti ibuprofen bisa memicu dan memperburuk infeksi virus corona.
Ditanya soal penelitian ini, Juru Bicara WHO Christian Lindmeier mengatakan bahwa para pakar badan kesehatan PBB sedang mencari tahu untuk memberikan panduan lebih lanjut.
"Sementara itu, kami merekomendasikan penggunaan paracetamol, dan jangan menggunakan ibuprofen sebagai pengobatan sendiri. Itu penting," katanya, seperti dilaporkan AFP, Rabu (18/3/2020).
Dia menyebut, "Jika ibuprofen diresepkan oleh para profesional kesehatan, maka, tentu saja, itu terserah mereka."
Komentarnya ini muncul setelah Veran mengirim cuitan yang memperingatkan bahwa penggunaan ibuprofen dan obat anti-inflamasi serupa bisa menjadi faktor yang memberatkan pada pasien infeksi virus corona COVID-19.
"Dalam kasus demam, minum paracetamol," tulisnya.
Menteri Prancis itu menekankan, pasien yang sudah dirawat dengan obat anti-inflamasi harus meminta nasehat dari dokter mereka.
Paracetamol harus diminum sesuai dengan dosis yang disarankan, karena terlalu banyak dapat merusak hati (liver).
Pandemi virus Corona saat ini telah menginfeksi sekitar 190.000 orang di seluruh dunia dan membunuh lebih dari 7.800, menyebabkan gejala ringan pada kebanyakan orang, tetapi dapat memicu pneumonia dan dalam beberapa kasus penyakit parah yang bisa menyebabkan kegagalan organ dan komplikasi.
Bahkan sebelum pandemi, pihak berwenang Prancis membunyikan alarm atas "komplikasi menular" yang serius terkait dengan penggunaan ibuprofen, yang dijual dengan berbagai merek seperti Nurofen dan Advil, dan obat anti-inflamasi lainnya.
Seorang juru bicara untuk perusahaan farmasi Inggris Reckitt Benckiser, yang membuat Nurofen, menyatakan perusahaan itu menyadari kekhawatiran yang timbul soal penggunaan steroid dan produk anti-inflamasi non-steroid (NSAID), termasuk ibuprofen, untuk mengurangi gejala COVID-19.
"Keselamatan konsumen adalah prioritas nomor satu kami," kata juru bicara itu.
"Ibuprofen adalah obat mapan yang telah digunakan dengan aman sebagai pereda demam, rasa sakit, dan pereda nyeri, termasuk dalam penyakit virus, selama lebih dari 30 tahun."
"Kami saat ini belum percaya ada bukti ilmiah terbukti yang menghubungkan penggunaan ibuprofen yang dijual bebas dengan pembengkakan COVID-19," isi pernyataan itu.