RIAUMANDIRI.ID, JAKARTA – Connor Reed tampil ke publik dengan membawa kisahnya sebagai seorang penyintas virus corona jenis baru COVID-19. Pemuda asal Inggris itu merupakan seorang pekerja di sebuah sekolah di kota Wuhan, China, yang merupakan sumber munculnya virus corona.
Pria berusia 25 tahun itu terjangkit virus COVID-19 saat berada di sana. Reed menjadi warga Inggris pertama yang kala itu dinyatakan positif mengidap COVID-19, penyakit yang disebabkan virus corona baru tersebut.
Peristiwa memilukan itu bermula ketika Reed mulai merasakan ada yang bermasalah dengan kondisi kesehatannya pada 25 November 2019 silam.
“Saya terserang flu dan mulai parah ketika secara bertahap virus ini berkembang. Semua berawal dari flu,” kenangnya, seperti dikutip Sky.
Tak ada kecurigaan di benaknya saat itu. Reed menganggap dirinya hanya terserang flu biasa. Di tengah kondisinya tersebut, Reed memaksakan diri untuk tetap bekerja.
Ia mengaku, kala itu kondisinya cukup stabil. Namun di saat cuaca dingin menyergap, kondisi kesehatannya justru kian memburuk.
"Saya terbangun dengan kondisi yang buruk. Saya batuk-batuk dan akhirnya kehilangan suara saya,” imbuhnya. “"Salah satu teman saya di Irlandia mengatakan bahwa wiski panas dan madu sangat membantu mengatasi gejala yang saya alami. Jujur, itu memang sangat membantu. Tetapi saya mulai berpikir tidak mungkin wiski dan madu dapat menyembuhkan virus.”
Reed memutuskan untuk rehat dari pekerjaannya untuk sementara waktu di awal Desember. Reed yang kala itu juga menderita demam tak ingin menularkan penyakitnya kepada teman sejawat di kantor.
Ia mengaku saat itu pemerintah setempat belum mengumumkan bahwa virus yang muncul di Wuhan menyebabkan penyakit baru yang telah menjadi wabah di seluruh dunia.
"Saya merasa tersiksa," kata Reed, "Saya hanya ingin meringkuk seperti bola dan saya memiliki masalah telinga dan masalah sinus, rasanya seperti ada balon yang meledak di wajah saya. Dan itu bisa jadi merupakan gejala terburuk. Itu benar-benar mengganggu saya,” ujarnya.
"Aku juga menderita batuk. Mengerikan. Dan itu terjadi berkali-kali, saya jadi kehilangan suara. Kadang-kadang, saya tidak bisa mengeluarkan suara sama sekali. Kadang-kadang, saya terdengar seperti katak."
Penderitaan Reed tak berhenti di situ. Di saat kondisinya membaik karena flunya sudah sembuh, Reed bertekad untuk kembali bekerja dengan harapan ia akan benar-benar pulih dalam waktu dekat. Namun ada ketakutan yang mengganjal di hatinya.
"Yang membuatku takut karena bernapas adalah kebutuhan hidup, seperti jika kamu terkena flu, kamu benar-benar merasa seperti akan mati, tetapi itu tidak terjadi. Tetapi ketika paru-parumu juga terdampak, di situlah aku merasa takut. Dan saya tidak bisa bernapas dengan leluasa, napas yang saya ambil terdengar seperti saya bernapas melalui kantong. Terdengar serak, dan saya hanya bisa mengambil setengah nafas. Jika saya berjalan ke dapur, misalnya, Saya akan bernapas sangat pendek dan sangat cepat."
Reed menyiasatinya dengan banyak-banyak meminum air hangat. Namun hasilnya nihil. Karena kondisinya yang tak kunjung membaik, ia memutuskan untuk pergi ke rumah sakit keesokan harinya.
Ia menjalani serangkaian pemeriksaan pada 5 Desember 2019. Mulai dari tes darah, rontgen hingga tes pernapasan. Di hari berikutnya, atau dua pekan setelah beberapa gejala klinis muncul, Reed mendapati bahwa dirinya didiagnosis mengidap pneumonia.
"Saya sama sekali tak berpikir bahwa saya akan mati. Maksudnya, hal itu tidak mungkin terjadi padaku yang masih muda. Apalagi saya tidak merokok. Saya juga tidak minum. Kebiasaan itu seharusnya tidak akan membuat saya mengidap penyakit yang diderita orang tua ataukah saya memiliki masalah kesehatan yang sudah ada sebelumnya."
Setelah melewati masa-masa sulit itu, Reed beruntung, ia merupakan salah satu pasien yang dinyatakan pulih setelah beberapa pekan menjalani perawatan akibat positif terjangkit virus corona penyebab penyakit COVID-19.
Ia ingat betul, saat itu Wuhan masih diisolasi. Sebuah notifikasi masuk ke ponselnya pukul 3 dini hari, saat pemerintah mengeluarkan perintah agar kota tersebut dikarantina.
"Untungnya, saya terbangun untuk membaca pesan teks itu. Jadi, saya lari keluar rumah dan pergi ke supermarket yang buka 24 jam di lantai bawah. Saya tahu keadaan akan memburuk dan saya tahu bahwa toko-toko akan diserbu," ungkapnya.
"Ketika semakin banyak kasus baru yang muncul dan mulai menyebar, pemerintah memberikan sanksi yang lebih keras dan karantina yang lebih ketat. Misalnya, saat ini, satu orang diizinkan meninggalkan rumah mereka setiap tiga hari sekali, dan itu hanya untuk membeli kebutuhan. "
Reed mengisahkan ketika ia pergi keluar jalanan tampak sepi seperti tak ada kehidupan di sana. "Jika kamu pergi ke toko, ada beberapa toko yang buka namun tak mengizinkan pembeli masuk. Kamu cukup memberi tahu penjual apa yang kamu inginkan. Mereka memasukkannya ke dalam tas dan kemudian mereka menyerahkan tas itu kepadamu dengan tongkat panjang hanya untuk menghindari kontak personal."
Ia memuji pemerintah setempat yang mengambil langkah proaktif untuk mengatasi wabah mematikan ini. Menurut Reed, pemerintah sangat berpengalaman menangani krisis dengan berkaca dari wabah sebelumnya seperti SARS. Dia pun percaya jumlah korban terjangkit yang dirilis pemerintah akurat.
"Tidak banyak negara Barat yang dapat membangun rumah sakit dalam 10 hari. China adalah salah satu negara paling efisien dalam menyelesaikan pekerjaan. Sehubungan dengan wabah ini, mereka telah menyelesaikannya. Mereka seharusnya memang bertindak demikian. Mereka harus mengambil langkah drastis, bahwa banyak negara lain tidak akan melakukan hal serupa,” pungkas Reed.