Oleh: Nugroho Noto Susanto
Setiap 8 Maret, diperingati sebagai hari perempuan internasional. Merujuk dari rilis dan kajian Serikat Perempuan Indonesia, atau disingkat SERUNI (2020), bahwa pada tanggal 8 Maret 1857 terjadi demonstrasi perempuan kelas buruh dari berbagai pabrik di New York, Amerika Serikat. Buruh perempuan menuntut penghapusan diskriminasi dalam hubungan produksi,pengurangan jam kerja dan perbaikan kondisi kerja. Negara sangat represif dalam merespon aksi massa tersebut. Kekerasan verbal maupun fisik kepada perempuan tak terhindarkan. Korban berjatuhan.
Masih merujuk Seruni (2020), tahun 1908, diselenggarakan peringatan peristiwa 8 Maret 1857 dalam sebuah Rapat Umum yang diikuti 30.000 perempuan kelas buruh. Selain tuntutan serupa pada peristiwa 8 maret 1857, kelompok perempuan tersebut juga menuntut adanya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan terkait hak politik untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan umum. Tahun 1910 dalam Kongres Internasional Perempuan kelas Buruh, Clara Zetkin (pemimpin lembaga perempuan pada partai Demokrasi Sosialis Jerman) mengusulkan tanggal 8 Maret diperingati sebagai hari perlawanan kaum perempuan kelas buruh se-dunia. Sejak saat itu, setiap 8 Maret berkumpul jutaan perempuan, dan para pendukungnya di dunia termasuk di Indonesia untuk memperingati peristiwa 8 Maret 1857.
Untuk mengenang peristiwa 8 maret tersebut, tulisan ini hadir di tengah pembaca. Untuk menjaga kebaruan isu, saya memilih aspek perempuan di lapangan politik. Lebih khusus lagi, tulisan ini merefleksikan kondisi keterwakilan perempuan di ranah lokal Provinsi Riau.
Perempuan dan Pemilu
Dalam refleksi hari perempuan internasional ini, dapat saya katakan bahwa kehadiran perempuan di ruang politik, khususnya di ranah pemilu bukanlah hal yang datang secara tiba-tiba. Kebijakan tindakan afirmasi (affirmative action) di ruang politik tanah air merupakan kebijakan yang dihasillkan dari kerja keras kaum perempuan. Afirmasi sosial dibenarkan mengingat masih terdapatnya kesenjangan antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai sektor, apakah pendidikan, ekonomi, dan seterusnya sehingga di ranah politik tindakan afirmasi diberlakukan.
Di antara tindakan afirmasi yang ditujukan bagi perempuan adalah adanya Quota minimal 30% bagi perempuan pada pendirian dan pengurus partai politik,minimal 30% bagi perempuan pada daftar calon legislatif, memperhatikan minimal 30% bagi perempuan sebagai penyelenggara pemilu, dan minimal 30% perempuan sebagai tim seleksi pembentukan penyelenggara pemilu.
Dalam konteks penyelenggara pemilu, aturan itu berlaku bagi semua penyelenggara pemilu baik KPU, maupun Bawaslu. Hanya saja, menurut saya, perlu ditimbang agar Frase Regulasi berbunyi “memperhatikan” dalam pembentukan penyelenggara pemilu, harus diubah menjadi “harus terbentuk/mengikutertakan perempuan minimal 30%”. Dengan demikian, maka quota minimal 30% di penyelenggara pemilu menjadi sebuah keharusan.
Dalam UU Pemilu No. 7 tahun 2017 pada pasal 173 angka 2 huruf e dinyatakan bahwa syarat partai politik bisa menjadi peserta pemilu hanya ketika mengikutsertakan minimal 30% pengurus perempuan di jajaran partai politik. Untuk memastikan keterpenuhan syarat tersebut, KPU berkewajiban melakukan verifikasi faktual, dan Bawaslu juga melakukan pengawasan. Sedangkan pada pasal 245 dinyatakan bahwa daftar calon legislatif harus menyertakan perempuan sebanyak minimal 30%.
Partisipasi dan Representasi Perempuan di Riau
Merujuk dari data pemilih tetap pemilu 2019 di provinsi Riau, terdapat 3.863.305 pemilih terdiri dari 1.963.287 pemilih laki-laki dan 1.900.018 pemilih perempuan. Artinya pemilih laki-laki lebih besar dari pemilih perempuan dengan perbandingan 51% laki-laki dan 49% perempuan.
Partisipasi pemilih pemilu 2019 untuk kategori pemilihan Presiden/Wakil presiden, pemilih perempuan justru lebih tinggi dari pemilih laki-laki. Pemilih perempuan yang hadir ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) mencapai 1.641.153 pemilih (50,2%), sedangkan laki-laki 1.630.377 pemilih (49,8%). Dari delapan dapil pemilu DPRD Provinsi Riau, pemilih laki-laki lebih besar daripada pemilih perempuan. Terdapat pemilih laki-laki sebesar 1.963.288, dan pemilih perempuan 1.900.017. Jumlah seluruh pemilih adalah 3.863.305. Pemilih perempuan yang hadir menggunakan hak pilihnya mencapai 1.634.913 (85,94%), berbanding 1.624.165 pemilih laki-laki (82,96%).
Namun uniknya, tingginya partisipasi pemilih perempuan di Pemilu DPRD Provinsi tahun 2019, tidak berbanding lurus dengan keterpilihan calon perempuan. Bahkan calon perempuan yang terpilih di DPRD Provinsi Riau mengalami penurunan dibanding keterwakilan perempuan di pemilu 2014. Sebelumnya, terdapat 18 wakil rakyat dari calon perempuan, pada pemilu 2019 hanya menyisakan 12 calon perempuan.
Merujuk hasil pemilu 2019, untuk kategori pemilu DPRD Kabupaten/Kota, dibanding hasil pemilu 2014 untuk kategori yang sama, keterwakilan perempuan di DPRD lebih variatif. Namun secara umum keterwakilan perempuan mengalami penurunan.Terdapat memang peningkatan perwakilan perempuan di tiga daerah yakni (i) di Kabupaten Indragiri Hilir dari 4 orang (pemilu 2014) menjadi 6 orang (pemilu 2019), (ii) Kota Pekanbaru dari 7 orang (pemilu 2014) menjadi 9 orang (pemilu 2019), dan (iii) Kabupaten Rokan Hilir 3 orang (2014) menjadi 8 orang (2019). Terdapat pula angka perwakilan perempuan yang sama di Bengkalis (4 wakil perempuan).
Sedangkan di 8 daerah lainnya mengalami penurunan yakni (1) Indragiri Hulu dari 5 orang (2014) menjadi 1 orang (2019), (2) Kampar dari 7 orang (2014) menjadi 4 orang (2019), (3) Kepulauan Meranti 5 orang (2014) menjadi 4 orang (2019), (4) Kuantan Singingi dari 3 orang (2014) menjadi 1 orang (2019), (5) Pelalawan dari 2 orang (2014) menjadi 0 orang (2019), (6) Rokan Hulu dari 6 orang (2014) menjadi 2 orang (2019), (7) Siak dari 2 orang (2014) menjadi 1 orang (2019), dan (8) Kota Dumai dari 5 orang (2014) menjadi 3 orang (2019).
Dari data tersebut, ada kabar gembira seperti di Rokan Hilir dimana terdapat kenaikan prosentase perwakilan perempuan dari 7% menjadi 18%. Namun secara umum data perwakilan perempuan di Riau, baik di DPR RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota mengalami penurunan. Untuk DPR RI bahkan tidak ada satupun wakil perempuan Riau di senayan. Serupa dengan potret anggota DPRD Kabupaten Pelalawan sat ini. Kabar baik dari pemilu kategori DPD RI, dari 4 kursi tersedia di Dapil Riau terdapat 2 kursi yang berhasil diwakili perempuan. Untuk wakil perempuan di DPD RI, Hasil pemilu 2019 serupa dengan hasil pemilu 2014.
Refeksi dan Agenda Perubahan
Pada ranah sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan, perempuan masih belum sepenuhnya ditempatkan pada posisi yang semestinya. Acapkali perempuan dinomor duakan bahkan dipinggirkan. Paham patriarki yang menempatkan laki-laki di atas segala-galanya sering mempengaruhi kebijakan politik negara, pun organisasi sosial, budaya, dan politik.
Data dari Komnas Perempuan, dimana ribuan kejadian kekerasan yang menimpa perempuan menunjukkan bahwa perempuan seringkali hanya dipandang sebagai obyek. Bahkan di dalam lingkungan pendidikan, baik berbasis agama maupun bukan agama, dimana nilai-nilai luhur mestinya diproduksi, tak terkecuali terdapat juga perbuatan pelecehan dan kekerasan pada perempuan. Di ranah ekonomi, tak pelak lagi. Tubuh perempuan seringkali diexploitasi hanya untuk kepentingan uang. Profit lebih diagungkan dan menjadi berhala baru, mengenyampingkan hakikat dan kehormatan perempuan sebagai manusia yang mulia.
Secara lebih khusus di konteks lokal provinsi Riau, data-data yang ditunjukkan dari hasil pemilu 2019, menyatakan bahwa keterwakilan perempuan di ranah politik semakin rendah. Tentu perlu pendalaman lagi, mengapa politisi perempuan tidak memiliki daya elektoral besar di Riau? Sementara tindakan afirmasi telah dilakukan saat tahapan pembentukan pengurus partai politik, dan tahapan pencalonan. Artinya affirmatif action belum berhasil menaikkan keterwakilan perempuan di DPR RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kab/Kota.
Ke depan, untuk mengubah wajah politik kita agar lebih responsif gender, perlu dilakukan tiga agenda perubahan maha penting oleh banyak pihak, khususnya dari kalangan perempuan. Di antara agenda mendesak yang harus senantiasa dilakukan; pertama adalah pendidikan politik bagi perempuan. Dari data partisipasi pemilih pemilu 2019, pemilih perempuan lebih banyak daripada laki-laki. Artinya terdapat peluang bagi kaum perempuan untuk melakukan pendidikan politik yang lebih progresif. Bagi perempuan yang duduk di DPD RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, patut dipikirkan terkait agenda memperjuangkan anggaran Pro-perempuan, termasuk untuk pendidikan politik perempuan. Renungkan misalnya, berapa persen alokasi anggaran APBD diperuntukkan bagi perempuan? Bukankah dalam keluarga, belanja di bidang pendidikan, sosial, ekonomi, dan seterusnya kaum perempuanlah yang paling mengerti?
Agenda perubahan kedua adalah melakukan kajian serius dengan melibatkan kaum intelektual progresif terkait produk kebijakan publik yang diterbitkan oleh negara. Di antara kebijakan itu misalnya terkait nasib buruh dan kaum petani perempuan baik di kota maupun di pedalaman. Tidak sedikit data yang menunjukkan bahwa masih banyak praktik kerja upah harian lepas bagi buruh atau tani perempuan. Seringkali pula buruh/tani perempuan itu tidak mendapat jaminan kesehatan dan keselamatan. Bahkan kalau dikaji mendalam, dampak pembakaran hutan yang meluas beberapa waktu lalu, di antara korban yang paling merasakan adalah kaum perempuan dan anak-anak.
Dan agenda ketiga adalah adalah konsolidasi dan advokasi kaum perempuan untuk mengarusutamakan kesetaraan gender di berbagai bidang. Barangkali, terjadinya gap antara partisipasi pemilih perempuan dan keterwakilan perempuan disebabkan tidak terjadinya konsolidasi politik kaum perempuan yang sistematis dan terukur. Mungkin juga, jika data keterwakilan perempuan di ruang lain dibentangkan, akan terjadi kesenjangan juga. Lihat misalnya, berapa perwakilan perempuan yang duduk sebagai kepala dinas baik di Pemerintah Kabupaten/Kota, maupun di Provinsi. Dan seterusnya.
Akhirnya, saya mengucapkan selamat hari perempuan internasional bagi seluruh rakyat Indonesia, khususnya bagi kaum perempuan. Untuk kebahagian umat manusia di bumi, dimana tidak ada manusia yang lahir tanpa rahim seorang perempuan, maka hormatilah hak-hak kaum perempuan, karena hakikatnya menghormati dan memberikan hak-hak bagi perempuan adalah memberikan kebahagiaan bagi umat manusia seluruhnya.
(Penulis adalah Anggota KPU Riau)