Globalisasi sebagai efek sosial dan budaya tidak akan dapat dihindari. Bahkan, globalisasi juga merasuk ke sistem ekonomi kita. Pemberlakuan free trade zone (FTZ) sejak 2009 di beberapa kawasan ekonomi di Indonesia seperti Batam, Bintan, dan Karimun, bukti nyata globalisasi ekonomi di Indonesia. Pada Desember 2015, kita sudah akan memberlakukan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) di mana batas ekonomi yang menyekat seperti pajak dan bea cukai tidak lagi menjadi halangan di kawasan ASEAN, persaingan ekonomi pun terbuka.
Dalam kenyataan itulah, desa hadir. Desa tidak bisa luput terkena imbas proses globalisasi dalam segala lini, baik dalam hal ekonomi, politik, apalagi sosial dan budaya. Kondisi ini memaksa desa agar mampu menghimpun kekuatan diri untuk menjelmakan dirinya menjadi desa global, yakni desa yang sanggup tampil menjadi juara di tengah dibukanya persaingan global.
Istilah desa global bukanlah desa global (the global village) yang dicetuskan Marshall McLuhan pada 1964 dalam bukunya yang tersohor Understanding Media: Extenstion of A Man. Namun, sebuah desa yang penduduknya benar-benar membuka diri dan berkomunikasi secara nyata dengan dunia global.
Sebuah kenyataan yang tidak bisa dihindari oleh desa, khususnya ketika gerbang persaingan masyarakat ASEAN telah dibuka. Desa global niscaya hadir pada masa kini dan mendatang agar desa benar-benar mampu mempersiapkan dirinya menghadapi persaingan global. Dengan demikian, Indonesia harus mampu menggerakkan dan memperkuat pondasi ketahanan di tingkat desa, sehingga proyeksi pembangunan desa tidak diabaikan. Poin utama yang harus dilakukan adalah menggeser posisi piramida kebijakan pembangunan negara dalam memperlakukan desa yang selama ini senantiasa dijadikan anak tiri.
Piramida pembangunan desa harus di balik ke posisi atas dan menjadi entitas yang diprioritaskan. Kota yang selama ini berada di pucuk piramida sudah harus digeser ke bawah. Tanpa ini, rasanya desa akan susah menghadapi persaingan yang kian terbuka.
Skenario tersebut penting selain untuk menguatkan desa, juga untuk mengurangi konsentrasi pertumbuhan penduduk di perkotaan yang rentan melahirkan banyak problem sosial. Pesatnya pertumbuhan kota yang berbanding terbalik dengan desa harus menjadi acuan. Pada 1949, populasi dunia di perdesaan lebih banyak dibandingkan di perkotaan. Kondisi berbalik pada 2007 di mana masyarakat dunia lebih banyak di perkotaan dan akan terus menanjak. Diramalkan pada 2015 sebanyak 9,6 miliar populasi dunia hidup di perkotaan.
Tingginya laju populasi perkotaan melebihi perdesaan diikuti dengan tingkat kemiskinan di desa yang lebih tinggi dibandingkan kota. Di Indonesia, kemiskinan di daerah Jawa saja terlihat lebih banyak di desa, misalkan Banten (kota 5,27 persen, desa 7,22 persen), Jawa Barat (kota 8,69 persen, desa 11,42 persen), Jawa Tengah (kota 12,53 persen, desa 16,05 persen), Yogyakarta (kota 13,73 persen, desa 17,62 persen), dan di Jawa Timur (kota 8,90 persen, desa 16,23 persen). Data tersebut menunjukkan penyebaran pengangguran lebih banyak di desa. Jika ditelisik, masyarakat kota yang miskin pun berasal dari urbanisasi masyarakat desa yang tidak terserap persaingan di kota.
Data statistik tersebut tidak hanya menunjukkan betapa desa masih menjadi anak tiri pembangunan, tapi juga menjelaskan tipisnya lapangan pekerjaan di desa mendorong tingginya migrasi ke kota. Sebenarnya, tingginya tingkat migrasi dari desa ke kota bukan merupakan problem Indonesia semata. Hampir seluruh negara di dunia hampir mengalami hal yang sama, tapi di negara-negara maju mereka mampu menjembatani kesenjangan pembangunan desa-kota.
Saat ini kurang lebih ada sekitar 74 ribu desa di Indonesia. Dari total tersebut diperkirakan sekitar 18 persen atau 18.126 desa yang masih masuk kategori tertinggal. Terbanyak di kawasan Indonesia timur. Dikatakan tertinggal karena desa tersebut kurang berkembang dalam hal ekonomi, sumber daya manusia, infrastruktur, aksesibilitas, dan faktor karakteristik derah. Dapat dibayangkan, kita yang sudah masuk MEA 2015 dan persaingan global masih memiliki banyak desa tertinggal.
Lahirnya UU No 6/2014 tentang Desa sedikit membuka pandora yang selama ini menutup pembangunan desa sehingga desa tidak lagi dipandang sebelah mata. Pada sidang paripurna DPR 13 Februari lalu, menyetujui anggaran Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk belanja transfer daerah dan dana desa sebesar Rp 664,6 triliun. Adanya anggaran yang cukup besar untuk pembangunan desa diharapkan dapat dimaksimalkan dan memperkuat posisi desa di era global, khususnya dalam konteks merebut kemenangan dalam persaingan di masyarakat ASEAN.
Sudah barang tentu banyak tantangan desa yang muncul dan akan hadir ke depan. Di antaranya persaingan ketat, gempuran budaya asing yang dapat merusak nilai kearifan lokal dan lainnya. Kemandirian desa dalam mengelola daya saing mereka sendiri juga akan mendapatkan ujian. Dana yang begitu besar untuk pembangunan desa semoga benar-benar digunakan untuk pemberdayaan dan penguatan desa menghadapi persaingan, bukan sebaliknya.
Karenanya, anggaran pembangunan desa yang besar dan posisi desa yang mulai dijadikan fokus pembangunan dalam kebijakan negara menjadi momentum membangun desa global. Tetapi, aparat desa harus benar-benar bekerja profesional, amanah, dan kreatif agar pembangunan desa dapat berjalan baik. Jika tidak, anggaran besa itu bisa berbalik menjadi bumerang yang menghancurkan. Kita semua berharap desa masa depan sudah tidak dapat lagi diposisikan sebagai entitas subordinat dalam pembangunan, melainkan poros utama yang dapat membawa Indonesia mampu bersaing di kancah global. Semoga. (rol)
Anggota Komisi V DPR