RIAUMANDIRI.ID, JAKARTA – Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja inisiatif pemerintah, dinilai diskriminatif terhadap guru lokal dan sangat mengistimewakan guru dari luar negeri atau asing.
Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Abdul Fikri Faqih menilai, RUU Omnibus Law ini sangat memihak kepada pengajar asing.
"Guru dan dosen lokal wajib sertifikasi, sedangkan pengajar asing dikasih karpet merah, ini benar-benar RUU Alien," kata Fikri, Sabtu (29/2/2020).
RUU Omnibus Law ini mengatur soal sertifikasi guru. Namun bagi pengajar yang berasal dari luar negeri tidak diwajibkan.
"Kenapa harus diskriminatif terhadap pengajar lokal, apa jaminan bahwa pengajar asing itu lebih baik?" tanya Fikri.
Dia mengutip beberapa pasal yang sebelumnya ada di Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen, dan kini direvisi dalam RUU baru tersebut.
Politisi PKS itu juga mempertanyakan kenapa RUU baru tersebut menghapus prioritas bagi dosen lokal yang mengajar di kampus asing di Indonesia.
Dalam Undang Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang pendidikan tinggi, disebutkan kewajiban bahwa dosen lokal wajib diprioritaskan sebagai pengajar di kampus asing. "Tapi pasal ini dihapus oleh Omnibus Law, jadi nanti supaya yang ngajar alien semua," ucap dia.
Omnibus Law juga diketahui menghapus ketentuan-ketentuan yang mengatur pidana bagi pelaku dan pemberi ijazah palsu. "Kini semakin lengkap, bahwa pengajar asing itu yang bisa jadi enggak jelas kualifikasinya, asal dia bule mungkin dengan bekal ijazah jadi-jadian, maka boleh mengajar di sini," sindir Fikri.
Maka jangan heran, lanjut Fikri, "RUU ini memang memberi keleluasaan lebih bagi alien untuk menginvasi bumi Indonesia," cetus dia.
Sebelumnya, Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja sudah diserahkan pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 12 Februari lalu. Pada Pasal 70 RUU tersebut, merevisi sejumlah pasal di dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Salah satunya pada Pasal 8 UU Guru dan Dosen, hanya diatur kewajiban bagi guru untuk memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Namun dalam RUU baru, tepatnya pada halaman 498 draf RUU Omnibus Law, Pasal 8 jadi memiliki 2 ayat. Ayat tambahan tersebut berbunyi, "Sertifikat pendidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak wajib dimiliki oleh guru yang berasal dari lulusan perguruan tinggi lembaga negara lain yang terakreditasi."
Dengan demikian, guru sekolah dalam negeri wajib memiliki sertifikat pendidik. Sementara guru dari negara lain yang mengajar di Indonesia tak wajib memiliki sertifikat pendidik jika lulus dari perguruan tinggi terakreditasi di luar negeri.
Pasal Kontroversi
Ketentuan serupa juga diterapkan untuk dosen dari negara lain yang ingin mengajar di Indonesia. Pada UU No 14 tahun 2005, Pasal 45 hanya mengandung satu ketentuan, yaitu dosen wajib memiliki sertifikat pendidik, kompetensi, kualifikasi akademik, sehat jasmani dan rohani.
Dalam draf RUU Omnibus Law, tepatnya pada halaman 499, Pasal 45 jadi memiliki dua ayat. Ayat pertama mengatur kewajiban dosen memiliki sertifikat pendidik dan lain-lain. Kemudian ayat kedua mengatur pengecualian syarat kepemilikan sertifikat pendidik bagi dosen asing yang ingin mengajar di Indonesia.
"Sertifikat pendidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak wajib dimiliki oleh dosen yang berasal dari lulusan perguruan tinggi lembaga negara lain yang terakreditasi," mengutip bunyi Pasal 45 Ayat (2) RUU Omnibus Law.
Tak hanya itu, RUU Omnibus Law juga menghapus kewajiban kampus asing untuk memprioritaskan dosen dan tenaga pendidik asal Indonesia. Kewajiban itu, yang sebelumnya tertuang dalam UU No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, dihapus dalam RUU Omnibus Law.
Pemerintah Indonesia, dalam UU No. 12 tahun 2012, juga berhak menetapkan lokasi, jenis dan program studi pada perguruan tinggi asing. Namun semua ketentuan itu dihapus dalam RUU Omnibus Law.
Hapus Pidana Ijazah Palsu
Tidak ketinggalan, RUU Omnibus Law juga menghapus ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 67, 68, 69 UU No. 20 tahun 2004 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 67 UU No. 20 tahun 2003 ayat (1) menyatakan bahwa tiap orang, organisasi atau penyelenggara pendidikan yang memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik tanpa hak, akan dipidana penjara maksimal 10 tahun dan/atau denda maksimal Rp1 miliar. Ketentuan itu dihapus dalam RUU Omnibus Law bersama 3 ayat lainnya.
Kemudian pada Pasal 68 UU No. 20 tahun 2003 yang memiliki 4 ayat juga dihapus dalam RUU Omnibus Law. Padahal ayat-ayat dalam Pasal 68 itu mengatur soal pidana terhadap orang yang membantu pemberian ijazah dan gelar akademik.
Ketentuan pidana terhadap orang yang menggunakan ijazah dan gelar akademik palsu dalam pasal 69 juga dihapus lewat RUU Omnibus Law. Padahal, dalam UU No. 20 tahun 2003 pasal 69, orang yang memakai ijazah dan gelar akademik palsu bisa dipenjara lima tahun atau denda maksimal Rp500 juta.