JAKARTA (HR)-Kebijakan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak Sabtu (28/3), mulai menuai kecaman, khususnya dari DPR RI. Pasalnya, kebijakan itu terkesan dilakukan diam-diam dan Dewan tak pernah diajak membahasnya.
Selain itu, kebijakan pemerintah yang menetapkan harga bahan bakar minyak (BBM) sesuai mekanisme pasar, dinilai bisa membuat stabilitas harga jadi tak menentu. Apalagi, masyarakat Indonesia juga dinilai belum siap menghadapi perubahan harga BBM yang bisa berubah sewaktu-waktu.
Kecamatan itu dilontarkan Ketua Komisi VII DPR RI, Kardaya Warnika. Ia menyesalkan sikap pemerintah yang tidak berdiskusi terlebih dahulu dengan DPR selaku wakil rakyat, sebelum menaikkan harga BBM.
"Walaupun premium ditetapkan tanpa persetujuan DPR, tapi disampaikan ke DPR adalah keharusan. Karena DPR adalah wakil rakyat. Ini asas yang disampaikan pemerintah dan dilanggar sendiri," ujarnya, Minggu (29/3).
Dikatakan, dalam rapat kerja terakhir sebelum masa reses anggota DPR, pemerintah telah bersepakat untuk berdiskusi dengan parlemen terlebih dahulu sebelum mengambil kebijakan kenaikan harga BBM.
Kardaya juga menyesalkan pernyataan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Sofyan Djalil, yang menyebutkan harga BBM bisa naik bertahap Rp500 per liter hingga menuju harga keekonomian. Bagi Kardaya, pernyataan Sofyan ini agak janggal. Sebab, seperti yang dijelaskan Kementerian ESDM sendiri, harga BBM mengacu harga indeks pasar sebulan lalu.
Selain itu, Pertamina menuturkan harga keekonomian di kisaran Rp8 ribu per liter. Namun, nyatanya, pemerintah menetapkan harga premium Rp7.300 per liter. "Artinya, ada selisih. Ini siapa yang nanggung? Uang siapa yang mau ditaruh di situ? Kalau itu uang Pertamina, dia terikat UU perseroan yang tidak membolehkannya menalangi hal yang merugikan," ucap Kardaya.
Selain itu, kebijakan pemerintah yang melepas harga BBM kepada mekanisme pasar, juga dinilai sebagai sebuah pelanggaran konstitusi.
Sebelumnya, reaksi serupa juga dilontarkan Ketua DPR RI Setya Novanto. Karena itu, pemerintah harus memberikan penjelasan kepada DPR RI terkait kebijakan tersebut.
Novanto juga tak menampik, pemerintah bisa menetapkan harga BBM tanpa persetujuan DPR. Namun bukan berarti pemerintah tak perlu memberikan penjelasan kepada DPR bila ada kenaikan harga BBM.
Novanto berharap komisi-komisi terkait di DPR segera melakukan rapat dengan pemerintah terkait kenaikan BBM ini. Jika memang pemerintah bisa menjelaskan dengan baik dan masuk akal, maka DPR tidak akan memprotes kenaikan harga BBM.
Tak Menentu
Sementara itu, pemerhati kebijakan publik Agus Pambagio, menilai kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM dalam waktu yang cenderung singkat, bisa membuat stabilitas harga jadi tak menentu. Agus juga mengkritik sikap pemerintah yang tidak melakukan sosialisasi soal perubahan harga BBM tersebut kepada masyarakat luas.
Ia memperkirakan, jika nanti harga BBM naik lagi, maka harga barang-barang yang sudah merangkak naik sejak November lalu, akan kembali naik. Karena itu, pemerintah diingatkan, jika ada penurunan harga minyak dunia, sebaiknya tidak serta-merta diikuti dengan penurunan harga BBM.
Sedangkan Wakil Ketua Kamar Dagang Indonesia, Natsir Mansyur, menilai masyarakat belum siap menghadapi fluktuasi harga BBM mengikuti harga minyak dunia. Hal itu ditunjukkan dari munculnya protes dari masyakarakat setiap kali pemerintah menaikkan harga BBM.
+
"Rakyat tidak siap dengan perubahan harga BBM yang naik-turun. Fundamental ekonomi kita kurang bagus. Kita masih penuh kesenjangan dan kemiskinan," ujarnya.
Hal berbeda terjadi di negara-negara lain di Asia tenggara, seperti Thailand. Menurut Natsir, Negeri Gajah Putih itu sejak awal sudah siap menyesuaikan harga bahan bakar dengan minyak dunia karena ekonomi di sana sudah cukup baik. "Mereka kalau naik atau turun tinggal diubah saja di papan tulisnya. Tidak perlu pemerintah yang menentukan, cukup Pertamina-nya saja," ujarnya.
Sementara itu, Staf Khusus Kementerian ESDM Widyawan Prawiraatmadja membantah penetapan harga BBM mengikuti mekanisme pasar. Sebab, harga indeks pasar tiap hari berubah, sedangkan pemerintah mengeluarkan kebijakan minimal sebulan sekali.
Yang ada, tambahnya, pemerintah melihat perkembangan dari waktu ke waktu harga indeks pasar sehingga diputuskan apakah perlu penyesuaian harga BBM. Selain itu, pemerintah juga mempertimbangkan nilai tukar rupiah.
"Kebijakan BBM ini sudah ditetapkan dalam APBN-P 2015 sehingga yang terjadi (naik-turun BBM ini) adalah konsekuensi ditetapkannya APBN-P 2015. Minimal penyesuaian sebulan sekali," kata dia. (bbs, kom, ral, sis)