RIAUMANDIRI.CO, JAKARTA – Pemerintah mulai hari ini resmi menaikkan harga rokok seiring penetapan kebijakan kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok sebesar 23% dan harga jual eceran (HJE) sebesar 35%.
Kenaikan tarif cukai rokok dan HJE pun tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 152 Tahun 2019 tentang tarif cukai hasil tembakau. Di dalam beleid itu sudah diatur kenaikan cukai terhadap beberapa jenis rokok.
Sedangkan untuk kenaikan harga jualnya, kurang lebih 35%. Dengan begitu seluruh harga jenis rokok mengalami kenaikan mulai hari ini atau 1 Januari 2020.
Mulai Naik Hari Ini
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan memutuskan untuk menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok sebesar Rp 23% dan harga jual eceran (HJE) sebesar 35%. Keputusan tersebut mulai berlaku pada 1 Januari 2020.
Kepala Sub Direktorat Publikasi dan Komunikasi DJBC Kementerian Keuangan Deni Surjantoro mengatakan, keputusan tersebut mulai berlaku pada 1 Januari 2020.
"Insyaallah jadi (naik)," kata Deni, Selasa (31/12/2019).
Keputusan kenaikan cukai rokok dan HJE pun sudah dibahas dan disampaikan langsung oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bersama Dirjen Bea dan Cukai Heru Pambudi kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) tanggal 13 September 2019 di Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat.
Kenaikan tarif cukai rokok terbesar yakni ada pada jenis rokok Sigaret Putih Mesin (SPM) yaitu sebesar 29,96%. Untuk cukai rokok jenis Sigaret Kretek Tangan Filter (SKTF) naik sebesar 25,42%, Sigaret Kretek Mesin (SKM) 23,49%, dan Sigaret Kretek Tangan (SKT) 12,84%.
Sedangkan, jenis produk tembakau seperti tembakau iris, rokok daun, sigaret kelembek kemenyan, dan cerutu tidak mengalami kenaikan tarif cukai.
Dari keterangan resmi Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan, Nufransa Wira Sakti yang dikutip kembali, dijelaskan soal kenaikan cukai dan harga rokok tahun depan.
Pada saat ini terdapat situasi di mana terjadi peningkatan prevalensi perokok secara global dari 32,8% menjadi 33,8%. Perokok pada usia anak dan remaja juga mengalami peningkatan dari 7,2% menjadi 9,1%, demikian halnya untuk perokok perempuan dari 1,3% menjadi 4,8%.
Pemerintah juga menyadari bahwa sektor cukai rokok ini banyak keterkaitannya dengan sektor lainnya yaitu industri, tenaga kerja, dan petani baik petani tembakau maupun cengkeh. Oleh karenanya, pemerintah perlu mempertimbangkan semua sektor di atas di dalam mengambil kebijakan cukai hasil tembakau.
Sebagaimana diketahui fungsi dari pungutan cukai hasil tembakau adalah untuk pengendalian konsumsi rokok (legal maupun ilegal), menjamin keberlangsungan industri dengan menjaga keseimbangan antara industri padat modal dan padat karya, dan untuk mengoptimalkan penerimaan negara. Dengan mempertimbangkan hal tersebut maka mulai 1 Januari 2020, pemerintah menetapkan kenaikan tarif cukai dengan rata-rata sekitar 23% dan menaikkan harga jual eceran (harga banderol) dengan rata-rata sekitar 35%.
Kebijakan tarif cukai dan harga banderol tersebut telah mempertimbangkan beberapa hal, antara lain jenis hasil tembakau (buatan mesin dan tangan), golongan pabrikan rokok (besar, menengah, dan kecil), jenis industri (padat modal dan padat karya), asal bahan baku (lokal dan impor). Secara prinsip, besaran kenaikan tarif dan harga banderol dikenakan secara berjenjang dimana tarif dan harga banderol sigaret kretek tangan lebih rendah daripada sigaret kretek mesin dan sigaret putih mesin.
Untuk mengamankan kebijakan tersebut agar efektif di lapangan, Pemerintah tetap dan terus berkomitmen untuk melakukan pengawasan dan penindakan atas pelanggaran di bidang cukai. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh lembaga independen (UGM), dalam 3 tahun terakhir Bea dan Cukai berhasil menekan peredaran rokok ilegal dari 12,1% menjadi 7% di tahun 2018, dan di tahun 2019 diperkirakan akan berhasil ditekan menjadi 3%. Dengan adanya kebijakan kenaikan cukai ini dimungkinkan akan berpotensi meningkatkan peredaran rokok ilegal.
Oleh sebab itu perlu penguatan sinergi dengan TNI, Polri, PPATK, dan aparat penegak hukum lainnya dalam mencegah tumbuhnya kembali peredaran rokok ilegal. Penindakan di bidang cukai yang lebih intensif ini, selain diharapkan mampu menekan jumlah peredaran rokok ilegal di masyarakat juga dapat memberikan kepastian berusaha industri hasil tembakau, terhindarnya masyarakat dari mengkonsumsi barang kena cukai ilegal, dan mencegah potensi kebocoran penerimaan negara dari peredaran rokok ilegal.
Kenaikan tarif cukai rokok dan HJE pun tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 152 Tahun 2019 tentang tarif cukai hasil tembakau.
Di dalam beleid itu sudah diatur kenaikan cukai terhadap beberapa jenis rokok. Sedangkan untuk kenaikan harga jualnya, kurang lebih 35%.
Beleid tersebut juga menjabarkan HJE per batang untuk setiap jenis dan golongannya. Hitungannya bisa berdasarkan angka tersebut, namun hanya bersifat perkiraan kasar.
"Itu kan rata-rata kenaikan 35%. Tapi penerapan pergolongan beda-beda," kata Kepala Sub Direktorat Publikasi dan Komunikasi Ditjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Deni Surjantoro kepada detikcom, Selasa (31/12/2019).
Deni menjelaskan misalnya rokok Sampoerna Mild yang merupakan kategori Sigaret Kretek Mesin (SKM) golongan 1 HJE-nya menjadi Rp 1.700 per batang. Dalam satu bungkus rokok ini ada 16 batang, artinya harga tahun depan sekitar Rp 27.200.
Contoh lain misalnya untuk rokok Marlboro masuk dalam kategori Sigaret Putih Mesin (SPM) golongan I. Untuk rokok merek ini tahun depan HJE-nya Rp 1.790 per batang. Dengan 1 bungkus berisi 20 batang, maka tahun depan rokok Marlboro harganya sekitar Rp 35.800.
"Itu namanya harga banderol. Kalau sudah beli di warung atau mini market pasti di atasnya. Nah yang diatur pemerintah adalah harga banderol," ujarnya.
Namun simulasi itu hanya hitungan kasar. Perusahaan bisa saja menjual lebih tinggi atau pun lebih rendah, tergantung strategi bisnisnya. Harga itu juga belum termasuk tarif cukai.