RIAUMANDIRI.ID, PEKANBARU - Menyusul maraknya kasus kekerasan seksual di beberapa kampus, Lidwina Inge dari Fakultas Hukum UI dan Saraswati Putri dari Fakultas Ilmu Budaya UI menyusun buku saku prosedur operasional standar (SOP) penanganan kasus kekerasan seksual di kampus.
Dilansir dari Magdalene.co, buku tersebut berisi definisi kekerasan seksual yang sudah mengacu pada definisi Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), konseling untuk korban, dan tanggung jawab pihak kampus.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat UIN Sultan Syarif Kasim (UIN Suska) Riau, Dr Sukma Erni, mengaku belum memikirkan akan mengikuti langkah yang diambil dosen UI. Sebab menurutnya, di UIN Suska belum ada laporan mengenai kasus-kasus kekerasan seksual.
"Alhamdulillah kita belum nemuin kasus di dalam kampus. Tetapi, kita tetap tidak bisa menghindari kemungkinan-kemungkinan terjadinya kekerasan seksual. Namun, kalau sampai membuat SOP seperti yang dilakukan teman-teman, memang kita belum kepikiran sejauh itu," jelasnya kepada wartawan, Rabu (18/12/2019).
Sukma juga mengatakan, sampai saat ini UIN Suska sudah melakukan langkah preventif yaitu membangun pemahaman gender mainstream atau responsif gender yang baik.
"Apa yang sudah kita lakukan baru pada taraf membangun gender mainstream atau responsif gender yang bagus di kalangan akademisi maupun mahasiswa. Jadi kita lebih banyak pada tataran preventif sesungguhnya," jelasnya lagi.
UIN Suska sendiri sampai saat ini belum ada prosedur khusus menangani kasus kekerasan seksual. Sukma menjelaskan, hal itu karena memang belum ada mahasiswa yang mengaku mendapat perlakuan kekerasan seksual.
Namun, jika mahasiswa ingin mengadu masalah kemahasiswaan, bisa langsung saja mendatangi wakil rektor III, wakil dekan III, ataupun pihak jurusan.
"Jangan lupa kita punya WR III, kita punya WD III, dan kita juga punya jurusan," katanya.
Amerita, mahasiswa Pekanbaru mengapresiasi penuh gagasan yang diluncurkan dosen UI. Amerita menilai, gagasan itu akan menumbuhkan keberanian pada mahasiswa yang menjadi korban kekerasan seksual.
"Bagus. Karena, kan, mahasiswa ini biasanya tidak berdaya dan tidak punya suara. Jadi dengan adanya SOP ini mereka bisa lebih berani mengadu dan merasa puas karena ada tindak lanjut dari kasusnya," ungkapnya saat diwawancara.
Senada dengan hal tersebut, Kepala Operasional LBH Pekanbaru, Andi Wijaya juga mengaku senang mendengar adanya gagasan tersebut.
"Iya, saya menilai ini suatu langkah yang progresif yang dilakukan dosen. Apalagi kalau sampai diikuti oleh dosen di seluruh kampus. Karena memang, kekerasan seksual perlu penanganan khusus, seperti penanganan psikologis korban yang trauma," ungkapnya saat ditemui di kantor LBH Pekanbaru.
Andi Wijaya juga mengatakan, LBH membuka pintu selebar-lebarnya apabila ada mahasiswa atau siapa pun yang ingin berkonsultasi soal kasus kekerasan seksual. LBH juga menjamin kerahasiaan identitas para korban sebab memang ada SOP khusus yang mengatur itu.
"Siapa saja yang mendapat kekerasan seksual tapi takut untuk melapor, silakan konsultasikan dahulu. Sebab kalau sudah ada kata takut, berarti korban tersebut trauma. Jangan takut, semua identitas dijamin kerahasiaannya. LBH punya SOP, identitas korban kekerasan seksual cuma diketahui dua orang, yaitu satu anggota LBH dan direktur. Selain itu, kami tidak akan membuka suara ke siapa pun," tutupnya.(mg2)