RIAUMANDIRI.ID, JAKARTA – Ketua Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP) DPR, Fadli Zon meminta Pemerintah Indonesia lebih progresif dan mendorong China melakukan dialog agar polemik soal muslim Uighur bisa diselesaikan.
Fadli, yang juga Waketum Gerindra ini awalnya menyinggung laporan The Wall Street Journal (WSJ) yang menyebut ada upaya China untuk membujuk sejumlah organisasi Islam, media hingga akademisi di Indonesia untuk bungkam atas dugaan persekusi muslim Uighur lewat ajakan tur ke Xinjiang. Fadli menilai tuduhan itu masih perlu dibuktikan kebenarannya.
"Tuduhan itu tentu saja bersifat sepihak sehingga masih perlu dibuktikan kebenarannya. Di sisi lain kita menaruh prasangka baik bahwa ormas-ormas Islam di Indonesia tak akan menggadaikan integritas dan solidaritasnya hanya demi sumbangan. Apalagi, mereka sendiri telah membantahnya," kata Fadli dalam keterangan tertulis, Senin (16/12/2019).
Dia mengatakan, saat ini propaganda saling menjatuhkan antara Amerika Serikat (AS) dan China sedang terjadi. Dia mencontohkan adanya surat terbuka dari 22 duta besar untuk PBB kepada Dewan HAM yang mengecam perlakuan China terhadap muslim Uighur di Xinjiang.
"Surat itu ditandatangani para diplomat yang sebagian besar berasal dari Eropa, termasuk Kanada, Australia, Selandia Baru, dan Jepang. Mereka mendesak China untuk segera menghentikan penahanan warga etnis minoritas Uighur dan memberi mereka kebebasan beraktivitas. Sebagai diplomat mereka memilih untuk menyampaikan keprihatinannya dalam bentuk surat terbuka, dan bukannya resolusi resmi, karena meyakini setiap upaya melahirkan resolusi atas nasib kaum muslim di Xinjiang akan segera dihalangi oleh China," ucap Fadli.
Dia kemudian menyebut muncul surat pembelaan terhadap China yang diteken diplomat dari 37 negara, antara lain Rusia, Arab Saudi, Nigeria, Aljazair, Korea Utara, Filipina, hingga Zimbabwe.
"Alih-alih mengecam China, mereka justru memuji prestasi luar biasa China di bidang hak asasi manusia. Perang propaganda semacam ini belakangan kembali lazim terjadi," tuturnya.
Fadli pun mengingatkan soal garis politik luar negeri Indonesia yang bersifat bebas aktif. Dia berharap Indonesia tak menjadi perpanjangan tangan dari pihak yang sedang terlibat propaganda.
"Dalam kasus ketidakadilan yang dialami oleh kaum muslim Uighur, sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, sangat wajar jika dunia memperhatikan bagaimana sikap Indonesia. Saya sendiri sejak lama telah mendorong munculnya sikap tegas pemerintah Indonesia atas isu ini. Pemerintah terkesan bisu menghadapi isu Uighur dan Rohingya," ucapnya.
Dia menyinggung soal upayanya mengangkat isu muslim Uighur dalam Konferensi ke-14 PUIC (Parliamentary Union of the OIC Member States) di Rabat, Maroko pada 11-14 Maret 2019. Fadli mengaku saat itu mendorong isu dugaan pelanggaran HAM terhadap muslim Uighur masuk ke dalam resolusi akhir PUIC yang merupakan organisasi parlemen bagi negara-negara anggota OKI.
"Saya ingat, usulan dari parlemen Indonesia ini awalnya ditanggapi dingin negara-negara muslim lainnya. Suasana hening. Bahkan sempat ditolak dengan alasan prosedural. Namun, karena lobi dan desakan kuat dari delegasi RI, Sidang Komite Umum akhirnya menyetujui untuk memasukkan isu muslim Uighur ke dalam draft resolusi akhir," tuturnya.
Meski demikian, dia mengaku paham kalau diplomasi pemerintah tak bisa sekeras diplomasi parlemen karena berbagai kalkulasi. Dia menyebut saat ini dunia, terutama negara-negara di Afrika dan dunia Islam punya ketergantungan sangat besar kepada China.
Fadli pun menceritakan perubahan sikap Turki yang 10 tahun lalu masih mendukung perjuangan muslim Uighur namun berubah sejak 2017. Dia menyebut Turki menerapkan kebijakan keras terhadap warga Uighur yang hidup di pengasingan dan tak lagi diizinkan demonstrasi atau melakukan aksi politik di Turki.
"Saat melawat ke China pada musim panas lalu, Erdogan bahkan balik memuji kebijakan minoritas pemerintah Cina. Hal serupa juga terjadi pada Iran. Mereka tak melontarkan kritik apapun terhadap China. Ketergantungan mereka pada China memang besar. Sebab, China adalah importir terbesar minyak Iran, sekaligus salah satu mitra dagang terbesar mereka," tuturnya.
Fadli berharap pemerintah Indonesia tak bungkam soal polemik muslim Uighur. Dia mengatakan saat ini Indonesia adalah anggota Dewan Keamanan dan Dewan HAM PBB dan meminta pemerintah Indonesia ambil langkah yang lebih progresif terkait masalah muslim Uighur.
"Sejauh ini saya melihat Indonesia baru menyampaikan sikap mengenai Uighur hanya melalui forum bilateral dengan Cina. Saya kira sikap ini tidak cukup. Untuk mewujudkan politik luar negeri bebas aktif, Pemerintah perlu mengambil sikap lebih progresif mengenai hal ini," ucap Fadli.
Dia menilai ada dua hal yang bisa dilakukan pemerintah Indonesia. Pertama, kata Fadli, dia menilai pemerintah RI bisa mendorong China untuk mengedepankan dialog dengan kelompok moderat di Xinjiang guna memberi otonomi lebih luas dalam hak beragama dan berbudaya.
"Kita paham jika soal Muslim di Xinjiang ini adalah masalah yang kompleks, bukan hanya isu keagamaan, tapi juga masalah politik, ekonomi dan budaya. Sehingga, pemerintah China perlu membuka pintu dialog dengan banyak kamar agar tersedia resolusi damai atas konflik yang selama ini berlangsung," ucap Anggota Komisi I DPR ini.
Langkah kedua, katanya, Indonesia harus mendorong China melibatkan publik dan organisasi internasional dalam menyelesaikan masalah muslim Uighur. Menurutnya, China bisa menjadikan negara-negara muslim yang dipercaya China sebagai perantara dialog untuk menyelesaikan masalah di Xinjian secara dialogis.
"Saya kira, isu-isu itu perlu didialogkan pemerintah Indonesia kepada China. Jangan lupa, ikut menciptakan perdamaian dunia adalah salah satu amanat konstitusi kita," pungkasnya.