RIAUMANDIRI.ID, JAKARTA - Pernyataan Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Seto Mulyadi soal usul 'sekolah tiga hari' dan 'nilai matematika 4' ramai dibahas di medsos. Pria yang akrab disapa Kak Seto ini menjelaskan maksud pernyataannya itu.
Awalnya, Kak Seto bicara bahwa tak semua anak cocok dengan model sekolah formal. Menurutnya, ada pula anak yang justru cocok dengan model sekolah non-formal yang mewajibkan sekolah tiga hari.
"Menghadapi anak-anak yang segala macam ini, kan nggak semua anak cocok dengan sekolah formal. Ada yang senang sekolah formal oke silakan nggak masalah, tapi yang nggak suka sekolah formal yang beban kurikulumnya berat, jam belajarnya padat, ya nggak usah dipaksa. Karena ada jalur UU Sistem Pendidikan Nasional, ada sekolah yang non-formal," kata Kak Seto saat dihubungi, Kamis (5/12/2019).
Pandangan Kak Seto tentang sekolah non-formal ini bukan tanpa dasar. Berdasarkan pengalamannya merintis model sekolah nonformal, menurutnya, sekolah hanya masuk tiga hari pun menghasilkan.
"Saya merintis ini sudah 13 tahun, sekolah nonformal. Saya juga punya sekolah formal. Nah ini homeshcooling ini masuknya non-formal. Cuma tiga hari masuknya, yaitu Senin, Rabu, dan Jumat. Lalu per hari hanya tiga jam. Tapi belajarnya menghasilkan dan menyenangkan. Jadi kita bikin modul-modul ringkas dan menyenangkan," paparnya.
"Dari sekolah informal saya, hasilnya juga tidak mengecewakan. Ada yang diterima di Kedokteran UI, Unhas Makassar, USU, ITB, dan IPB. Bahkan ada yang diterima di Harvard," sambungnya.
Dia menegaskan bahwa ia tak memaksa siswa masuk sekolah non-formal yang cuma perlu masuk tiga hari. Dia hanya memberi contoh soal keefektifan sekolah nonformal.
"Saya bukan memaksa harus sekolah tiga hari, tidak. Saya hanya memberi contoh. Ini lho ada sekolah tiga hari. Per harinya hanya tiga jam. Tapi efektif kok," ungkapnya.
Soal Pengakuan Nilai Matematika 4, tapi Masih Hidup
Kak Seto juga menjelaskan soal pengakuannya saat mendapatkan angka 4 pada mata pelajaran matematika tapi masih bisa hidup. Menurutnya, meskipun bodoh dalam bidang matematika, dia masih hidup karena cara mengajar ibunya yang kreatif.
"Saya kecil memang bodoh matematika, tapi buktinya masih hidup. Kenapa? Karena ibu saya mengajar matematika dengan gaya yang penuh persahabatan, yang kreatif," jelasnya.
Dia bercerita, saat kecil dia merupakan anak yang nakal sehingga sulit belajar matematika. Namun, ibunya tak pernah menyebut ia bodoh.
"Karena saya anaknya bandel. Nggak bisa diem, naik sana, naik sini. Ke atas pohon jatuh, kepala bocor. Terus saya suruh melompat. Terus ditanya, dua tambah dua berapa? Saya jawab, 'Lima, Bu.' Karena nggak pinter matematika. Tapi nggak dibilang bodoh atau goblok banget gitu," ungkapnya.
Menurut Kak Seto, ibunya bisa memadukan beberapa aspek kognitif, kemampuan merasa, dan psikomotorik saat mengajarinya matematika. Maka, perlahan-lahan ia pun bisa matematika.
"Terus saya disuruh lompat dua kali lagi. Ditanya, dua tambah dua berapa? Empat. Jadi cara mengajar matematika itu kan gimana guru mengajar dengan cara yang menarik gitu. Mungkin dengan gerakan, nyanyi. Atau melempar bola. Jadi belajar matematika dengan memadukan kognitif (kemampuan berpikir) dan kemampuan merasa gembira dan psikomotorik. Akhirnya lama-lama saya bisa matematika," tuturnya.
Soal Anak yang Bisa Jadi LGBT
Kak Seto lantas meluruskan pernyataannya terkait anak yang bisa menjadi LGBT. Menurutnya, konteks pernyataannya itu terkait beban tekanan kurikulum dan nuansa kekerasan di sekolah.
"Itu konteksnya, kalau anak ditekan terus, bahkan dengan kekerasan, itu di luar bisa lari. Entah itu ke narkoba dan segala macamlah. Sering ada keluhan yang masuk ke LPIA, ada anak yang ditarik LGBT, geng motor, atau narkoba. Berbagai perilaku menyimpanglah pokoknya. Jadi konteksnya ini nuansa keras di sekolah," jelasnya.
Dia juga mengatakan keluhan soal beban kurikulum yang berat itu ia dengar langsung dari anak-anak. Hal inilah, lanjut dia, yang bisa membuat anak lari ke tindakan menyimpang.
"Jadi salah satu dampak dari kekerasan atas nama pendidikan. Ini karena kurikulum yang terlalu berat, sumber informasinya dari siswa sendiri dan orang tua. Saya tanya sendiri ke anak. Mereka mengaku, yang sekarang sekolahnya bawa ransel, bawa koper, bukunya seabrek-abrek, akhirnya pelariannya ke yang menyimpang. Ini hasil dari wawancara kami dari berbagai kota," pungkasnya.**