RIAUMANDIRI.ID, JAKARTA - Presiden Jokowi meminta agar komposisi kabinetnya tak dinilai dari jumlahnya, melainkan dari efektivitas yang diberikan. PKS tetap meyakini bahwa kabinet yang efektif adalah kabinet yang 'ramping'.
"Justru untuk bisa efektif bekerja kabinet itu harus ramping bukan tambah besar. Katanya Bapak Presiden mau kerja cepat, harus lincah dong. Refromasi birokrasi itu dimulai dengan rightsizing atau perampingan bukan penggemukan birokrasi," juru bicara PKS, M Kholid kepada wartawan, Kamis (28/11/2019).
Kholid lantas membandingkan dengan jumlah menteri di Amerika Serikat. Dia mengatakan, sebagai negara besar dengan indeks GDP yang lebih besar dari Indonesia, AS hanya memiliki 15 menteri.
"Kalau Presiden Jokowi membandingkan dengan jumlah penduduk dan ukuran ekonomi, coba bisa dicek berapa jumlah menteri di Amerika Serikat? Ukuran ekonomi atau GDP AS itu 20 kali lipat dari GDP Indonesia, menterinya cuma 15. Pak Jokowi berapa menterinya? Wakil menterinya? Bisa dua kali lipat dari AS. Dari jumlah penduduk AS juga lebih banyak dari RI," tuturnya.
Kholid pun menilai 'gemuknya' kabinet Jokowi ini tak lain sebagai cerminan politik akomodasi kepentingan. "Jadi membesarnya kabinet Jokowi ini cerminan politik akomodasi kepentingan bukan politik meritokrasi," kata Kholid.
Presiden Jokowi memiliki komposisi kabinet yang 'gemuk' di periode ini. Jokowi buka suara soal gemuknya kabinet.
"(Harus) fungsional dan efektif. Ini kan tidak masalah banyaknya dong," ujar Jokowi di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Rabu (27/11/2019).
Di periode ini, Jokowi memiliki tambahan 12 wakil menteri dan 14 stafsus presiden di lingkaran Istana. Jokowi mengatakan, yang terpenting adalah efektivitas yang diberikan.
"Jangan menilai sesuatu dari banyaknya, bandingkan dengan negara-negara yang berpenduduk lebih sedikit. Organisasinya seperti apa, efektivitas seperti apa," katanya.**