RIAUMANDIRI.ID, PEKANBARU – Terpidana kasus suap Annas Maamun dapat grasi dari Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dengan demikian, mantan Gubernur Riau yang biasa disapa Atuk Annas ini akan menghirup udara bebas pada 3 Oktober 2020.
Kepala Bagian Humas dan Protokol Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM, Ade Kusmanto membenarkan kabar tersebut. Ade menyatakan bahwa pemberian grasi tersebut tertuang dalam keputusan presiden nomor 23/G Tahun 2019 tentang pemberian grasi yang ditetapkan pada 25 Oktober 2019.
"Memang benar, terpidana H. Anas Maamun mendapat grasi dari presiden," kata Ade, Selasa (26/11/2019).
Ade kemudian menjelaskan bahwa grasi yang diberikan Jokowi untuk Annas berupa pengurangan jumlah pidana yakni dari pidana penjara 7 tahun menjadi 6 tahun saja.
Meski ada pengurangan masa tahanan, Annas tetap diwajibkan untuk membayar pidana denda Rp 200 juta subsider pidana kurungan.
"Setelah mendapat grasi pengurangan hukuman selama satu tahun diperhitungkan akan bebas 3 Oktober 2020, dan denda telah dibayar tanggal 11 juli 2016," tandasnya.
Sebelumnya, Annas Maamun divonis enam tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider dua bulan penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Bandung terkait perkara suap alih fungsi lahan kebun kelapa sawit di Kabupaten Kuantan Singingi Riau. Rabu (24/6/2015).
Vonis yang dijatuhkan majelis hakim yang dipimpin Barita Lumban Gaol ini sesuai dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menuntut terdakwa dengan hukuman penjara enam tahun.
Menurut hakim, ada sejumlah hal-hal yang memberatkan terdakwa dalam kasus ini. Seperti perbuatan terdakwa tidak peka dengan program pemerintah terkait pemberantasan korupsi, terlebih sebagai kepala daerah terdakwa tidak memberikan contoh baik.
Sebelumnya: Mantan Gubri Annas Maamun Terima Grasi dari Presiden Jokowi
Atas vonis tersebut, baik Annas dan kuasa hukumnya menyatakan banding ke tingkat Pengadilan Tinggi, sementara pihak JPU dari KPK menyatakan pikir-pikir.
Kuasa hukum Annas, Sirra Prayuna, menilai vonis terhadap kliennya tidak adil karena dari tiga dakwaan dalam tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), hakim hanya menerapkan dua pasal.