RIAUMANDIRI.ID, JAKARTA - Ketua Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP) DPR Fadli Zon bicara upaya pemulangan Imam Besar FPI Habib Rizieq Syihab (HRS) yang dilakukan pemerintah Indonesia. Dia membandingkan negosiasi pejabat RI-Arab Saudi dengan upaya Amerika Serikat (AS) mengutus mantan Presiden Bill Clinton memulangkan jurnalis AS yang ditahan Korea Utara.
Fadli awalnya bicara tentang Habib Rizieq yang tak bisa keluar dari Saudi sejak dua tahun belakangan. Menurutnya, sejumlah alasan yang disebut-sebut sebagai penyebab Habib Rizieq tak bisa pulang ke tanah air tak terbukti.
"Terdapat sejumlah persoalan yang menghambat kepulangan HRS. Tapi, semua tuduhan tersebut tak ada yang terbukti. Termasuk isu overstay yang sering dijadikan alasan pemerintah, dan dugaan pelanggaran hukum yang HRS lakukan di Arab Saudi," kata Fadli kepada wartawan, Selasa (26/11/2019).
Waketum Gerindra yang dipimpin Prabowo Subianto ini juga menyebut dirinya berulang kali bertemu Habib Rizieq di Mekah. Saat bertemu, kata Fadli, Habib Rizieq menunjukkan bukti-bukti dirinya tak bisa keluar dari Saudi, bahkan untuk menyelesaikan program doktoral di Malaysia.
"Saya mencatat juga, pada September 2018 sebagai Wakil Ketua DPR, saya menerima pengaduan resmi tim advokat GNPF. Dalam kesempatan tersebut, Tim advokat GNPF menyampaikan bahwa pada Juli 2018, HRS dilarang keluar oleh petugas imigrasi Arab Saudi saat hendak ke Malaysia untuk mengurus disertasi S3. Padahal saat itu, HRS memiliki izin tinggal yang masih berlaku. Herannya, larangan tersebut belum dicabut, hingga akhirnya visa HRS habis masa berlakunya (overstay). Ada 'invisible hand' di balik kasus HRS yang menghambatnya keluar dari Saudi," tuturnya.
Fadli juga menyinggung pemerintah yang dinilainya menyederhanakan hambatan Habib Rizieq tak bisa keluar dari Saudi disebabkan pihak pemerintah Saudi. Padahal, kata Fadli, pemerintah Saudi tak berkepentingan dengan Habib Rizieq.
"Masalahnya, jika hambatan kepulangan HRS ada di sisi pemerintah Arab Saudi, bagaimana peran pemerintah Indonesia untuk menangani masalah tersebut? HRS bukan warga Saudi. Berlarut-larutnya kepulangan HRS dari Arab Saudi ke Indonesia, menurut hemat saya, mengindikasikan kegagalan diplomasi pemerintah dalam melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, sebagaimana yang diamanatkan oleh konstitusi," tuturnya.
Dia kemudian merujuk sejumlah aturan, baik internasional maupun dalam negeri yang menurutnya mengharuskan pemerintah Indonesia melindungi Habib Rizieq sebagai warga negara Indonesia. Dia menganggap pemerintah abai terhadap hak warganya dan membiarkan masalah berlarut-larut.
"Dalam hukum internasional, sebagaimana diatur di dalam konvensi Wina 1961 Pasal 3 dan Konvensi Wina 1963 Pasal 5, dinyatakan bahwa negara berkewajiban untuk melindungi warga negaranya yang tinggal di luar negeri. 'Protecting in the receiving State the interests of the sending State and of its national, both individuals and bodies corporate within permitted by international law'," ucap fadli.
Di level nasional, ketentuan tersebut juga tertuang di dalam sejumlah hukum nasional. Pada UU No. 37 Tahun 1999 mengenai hubungan luar negeri, misalnya, Bab V pasal 19 (b) menyatakan bahwa 'Perwakilan RI berkewajiban: memberikan pengayoman, Indonesia di luar negeri, sesuai dengan peraturan perundang-undangan nasional serta hukum dan kebiasaan internasional'," sambungnya.
Namun menurutnya, pemerintah kerap berlindung dengan alasan anti-intervensi terhadap kebijakan dalam negeri negara lain. Fadli menganggap hal itu harus diluruskan karena menurutnya perlindungan WNI di luar negeri merupakan bentuk diplomasi atau negosiasi, bukannya intervensi.
Fadli pun mencontohkan sejumlah upaya negosiasi yang dilakukan negara lain dalam memulangkan warga negaranya yang ditahan negara lain. Salah satunya, upaya pemulangan dua jurnalis AS yang ditahan Korea Utara (Korut).
"Tahun 2009, misalnya, pemerintah AS mengutus mantan Presiden Bill Clinton untuk bernegosiasi dalam pembebasan dua wartawan AS, Euna Lee dan Laura ling, yang ditahan oleh pemerintah Korea Utara. Hal yang sama juga terjadi pada tahun 2010, saat itu Pemerintah Amerika Serikat mengutus mantan Presiden Jimmy Carter untuk bernegosiasi dengan Korea Utara demi membebaskan Aijalon Mahli Gomes, seorang warga AS yang ditahan karena memasuki wilayah Korut secara ilegal. Atau pada tahun 2014, ketika Pemerintah AS mengirim utusan khususnya, Robert King, untuk bernegosiasi dalam pembebasan Kenneth Bae dan Matthew Todd Miller, dua warga AS yang sempat ditahan oleh Korea Utara karena tuduhan spionase," tuturnya.
"Jadi, negosiasi pemulangan seorang warga negara yang ditahan di negara lain, adalah praktik yang lazim," sambung Fadli.
Fadli berharap pemerintah melakukan koreksi dalam upaya pemulangan Habib Rizieq. Dia meminta negara hadir dan memfasilitasi Habib Rizieq kembali ke tanah air dengan sehat dan selamat.
"Saya mendorong agar sikap pemerintah segera dikoreksi. Harus pro aktif dan lebih progresif. Negara harus hadir melindungi HRS dan memfasilitasi untuk bisa kembali ke tanah air dengan sehat dan selamat. Jangan sampai hak HRS sebagai WNI untuk memperoleh perlindungan negara, diabaikan hanya karena perbedaan sikap dan pilihan politik dengan pemerintahan saat ini," pungkasnya.**