Setelah beberapa saat media diramaikan oleh lonjakan harga beras, sesuai dengan sifat khasnya yakni musiman, datangnya panen raya mendorong pemerintah untuk menaikkan harga da-sar gabah, dari Rp 3.200 menjadi Rp 3.700 per kg. Sebagian menganggap kenaikan itu sangat kecil sehingga tidak signifikan dalam meningkatkan pendapatan petani.
Namun, langkah pemerintah ini bisa juga dianggap sudah tepat dengan beberapa alasan, seperti untuk menghindari kenaikan harga beras di tingkat konsumen yang terlalu tinggi. Naiknya harga beras akan berdampak langsung pada stabilitas makroekonomi, sebagai komoditas pangan penyumbang bobot terbesar pada inflasi. Dengan penguasaan lahan sawah rata-rata hanya 0,3 hektare serta kelaziman petani menjual produk dalam bentuk gabah, bukan beras, maka petani padi banyak yang tergolong sebagai net consumer yang juga akan mencari beras di pasar.
Beras memang komoditas yang strategis secara ekonomi dan sosial politik. Urusan perberasan sudah menjadi konsen pemerintah sejak 60 tahun silam saat Sukarno mendatangkan profesor dari Barkeley, Leon Mears, untuk merancang cikal bakal Bulog. Beberapa buku asli Leon Mears tentang perberasan Indonesia masih sangat menarik untuk dibaca, yang menjadi bacaan wajib mahasiswa pertanian pada 1970-1980-an. Bicara beras berarti mulai dari penyediaan benih, pupuk, dan saprotan lainnya; penggudangan dengan risiko hama gudang dan penyusutan ekonominya; alat dan mesin untuk membantu peningkatan hasil dari mulai tanam sampai penjemuran dan pengemasan beras sampai ke pembiayaan serta logistik untuk menjamin kelancaran pengangkutan. Mears sudah melihat hal ini secara komprehensif sejak 1959, bahkan sudah juga mendiskusikan isu pangan untuk food and fuel.
Meningkatkan produksi beras merupakan keniscayaan. Meskipun banyak yang tidak menyadari bahwa dari sisi ketergantungan pada impor pangan pokok (staple food), Indonesia adalah salah satu negara yang sudah mencapai prestasi terbaik (kurang dari 10 persen untuk beras dan jagung). Namun, dengan laju peningkatan jumlah penduduk yang cukup tinggi dan konsumsi beras per orang juga sangat tinggi (satu setengah kali Malaysia) wajar, seorang Peter Warr, ekonom perdagangan internasional dari Australia mengatakan, "Bila Indonesia menggantungkan penyediaan beras pada impor, precarious."
Warr menyarankan kata kunci untuk mengatasi masalah ini dengan meningkatkan produktivitas. Warr tentu tidak mau melepaskan pemikirannya dari mazhab efisiensi perdagangan bebas.
Sebagai komoditas yang strongly-regulated, di mana kenaikan harga riil di tingkat konsumen sedapat mungkin dihindari pemerintah, membawa konsekuensi pada petani padi dalam menikmati kenaikan harga beras hanya dapat menutupi beban inflasi. Inipun dengan asumsi transmisi kenaikan harga di tingkaat konsumen ke farm gate-price terjadi dengan baik.
Dengan logika ini, sampai kapan pun kesejahteraan petani padi tidak akan mening-kat. Dengan berbagai kondisi di atas, dan sejak kebebasan dalam memilih budi daya komoditas diundang-undangkan pada 1992, jumlah petani padi terus berkurang.
Nilai ekonomi menanam padi saat ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan berbagai komoditas alternatif, seperti hortikultura. Budi daya melon satu hektare menghasilkan tidak kurang pendapatan bersih Rp 15 juta sampai Rp 20 juta per bulan. Lebih tinggi 15 sampai 20 kali lipat dari usaha tani padi (nonpremium). Selain alasan harus punya gabah atau beras untuk konsumsi sendiri, kendala keterbatasan pengetahuan atau manajemen, modal, dan keyakinan “menanam padi adalah mulia”, menjadi penyebab petani tidak pindah dari tanaman padi.
Apakah pemerintah dan petani di negara lain juga menghadapi persoalan ini? Bagaimana solusinya?
Jepang yang dikenal dengan pembelaan terhadap kesejahteraan petani padinya menyalurkan subsidi dalam bentuk pembayaran langsung ke petani (direct income), meskipun tidak menerapkan kebijakan harga beras murah. Namun, argumentasi pemberian dukungan pendapatan tersebut bukan karena kemiskinan petani, tapi karena kewajiban menyisihkan sebagian dari penerimaan pajak sebagai timbal balik terhadap kontribusi multifungsi sektor pertanian.
Sektor pertanian dipandang bukan saja berfungsi sebagai pemasok pangan, tapi keberadaan lahan pertanian, khususnya sawah, menjadi penyeimbang ketersediaan air di musim hujan dan kemarau.
Penyaluran tambahan pendapatan ke petani jagung dalam bentuk uang tunai, misalnya, dilakukan oleh Amerika Serikat. Dalam kategori subsidi pertanian hal ini tergolong subsidi output. Negara-negara maju lazimnya menghindari subsidi yang dianggap bisa mendistorsi pasar, seperti penerapan harga pembelian pemerintah dan subsidi harga input pertanian.
Di Indonesia kajian mengenai efektivitas subsidi input dapat dikatakan sudah menumpuk. Bank Dunia secara khusus melihat efektivitas subsidi pupuk di Indonesia pada 2011. Hanya 40 persen subsidi pupuk yang sampai ke petani yang berhak memperoleh. Padahal, alokasi APBN untuk subsidi ini terus membengkak hingga 2014.
Subsidi benih yang harusnya lebih besar daripada subsidi pupuk (dari indikator elastisitas produksi) juga tidak menyelesaikan persoalan. Di lapangan, jumlah petani yang menggunakan benih tidak besertifikat masih lebih besar (sekitar 53 persen, Laporan Dirjen Tanaman Pangan Kementan 2013).
Realisasi anggaran subsidi benih sebesar Rp 1,6 triliun pada 2014 pun sepertinya tidak mencapai 50 persen. Dari kajian FEM IPB bersama IFAD pada 2014, dari aras bawah atau petani sebenarnya menghendaki perlunya dukungan yang kuat untuk pemberdayaan penangkar benih padi. Bila dilakukan, inilah contoh mekanisme subsidi yang tidak mendistorsi pasar. Jawa Timur adalah contoh kisah sukses di mana petani atau kelompok tani berhasil mengalahkan perusahaan-perusahaan swasta (besar) dalam memproduksi benih padi sehingga bisa surplus untuk memasok permintaaan di luar Jawa.
Dalam beberapa diskusi sebenarnya tidak terlalu banyak yang diharapkan petani padi. Mendapatkan harga yang layak saja saat panen raya datang sudah anugerah terindah bagi mereka. Kuncinya adalah memperkuat posisi tawar petani terhadap pedagang pengumpul desa atau penggilingan.
Namun, menerapkan subsidi pendapatan langsung kepada petani padi adalah salah satu pilihan yang tepat. Dengan semakin tingginya opportunity cost menanam padi, sedangkan harga beras masih dijaga agar tetap “murah”, wajarlah petani padi mendapatkan tambahan pendapatan yang layak. Istilah seorang teman, bayarlah petani padi layaknya seorang PNS, semisal Rp 250 ribu sampai dengan Rp 300 ribu per bulan untuk setiap hektare yang dihasilkan.
Dengan asumsi luas tanam padi setahun saat ini 14 juta hektare, berarti pemerintah perlu menyiapkan anggaran sekitar Rp 40 triliun setahun. Hanya 10 persen lebih tinggi daripada usulan anggaran subsidi pupuk dalam APBN 2014 yang lalu. Artinya, dana tersedia bukan?
Jika benturannya pada persoalan klasik, seperti akurasi data petani dan luas tanam padi, bukankah dengan Badan Pusat Statistik yang sudah semakin maju dan mapan saat ini harusnya bukan menjadi kendala?
Akademisi, pemerintah, dan LSM tentu harus segera berkoordinasi untuk mengurai benang kusut perberasan kita. (rol)
Guru Besar Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajamen IPB, Tim Ahli Perundingan Perdagangan Pertanian pada WTO