RIAUMANDIRI.ID, JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan nama-nama Dewan Pengawas (Dewas) KPK masih dalam penggodokan. Indonesia Corruption Watch (ICW) mengatakan menolak seluruh konsep Dewas KPK.
"ICW pada dasarnya menolak keseluruhan konsep dari Dewan Pengawas KPK," ujar peneliti ICW Kurnia Ramadhana saat dihubungi Rabu (6/11/2019).
Kurnia mengatakan, KPK masuk dalam lembaga negara independen dengan membangun sistim pengawasan. Menurut Kurnia pengawasan tersebut telah dilakukan KPK, dengan adanya Deputi Pengawas Internal dan diawasi oleh BPK hingga DPR.
"Secara teoritik KPK, masuk dalam rumpun lembaga negara independen yang tidak mengenal konsep lembaga Dewan Pengawas. Sebab yang terpenting dalam lembaga negara independen adalah membangun sistem pengawasan, hal itu sudah dilakukan KPK dengan adanya Deputi Pengawas Internal dan Pengaduan Masyarakat. Bahkan, kedeputian tersebut pernah menjatuhkan sanksi etik pada dua pimpinan KPK, yakni Abraham Samad dan Saut Situmorang," kata Kurnia.
"Lagi pun dalam UU KPK yang lama sudah ditegaskan bahwa KPK diawasi oleh beberapa lembaga, misalnya BPK, DPR, dan Presiden. Lalu pengawasan apa lagi yang diinginkan oleh negara?" sambungnya.
Kurnia menilai, kewenangan dewan pengawas terlalu berlebihan. Dia juga menuturkan dibentuknya dewan pengawas dikhawatirkan sebagai bentuk intervensi dari pemerintah terhadap KPK.
"Kewenangan Dewan Pengawas sangat berlebihan. Bagaimana mungkin tindakan pro justicia yang dilakukan oleh KPK harus meminta izin dari Dewan Pengawas? Sementara disaat yang sama justru kewenangan Pimpinan KPK, sebagai penyidik dan penuntut justru dicabut oleh pembentuk UU. Kehadiran dewan pengawas dikhawatirkan sebagai bentuk intervensi pemerintah terhadap proses hukum yang berjalan di KPK. Sebab, Dewan Pengawas dalam UU KPK baru dipilih oleh Presiden," tuturnya.
Kurnia mengatakan, keinginan presiden dan DPR untuk membuat dewan pengawas menunjukan ketidak pahaman dalam memperkuat KPK. Menurutnya, pembentukan dewan pengawas bukan memperkuat namun memperlemah KPK.
"Keinginan dari Presiden dan DPR yang tetap bersikukuh membentuk kelembagaan tersebut semakin menunjukkan ketidak pahaman pembentuk UU dalam konteks penguatan lembaga anti korupsi," kata Kurnia.
"Jadi, siapapun yang dipilih oleh Presiden untuk menjadi dewan pengawas tidak akan merubah keadaan, karena sejatinya per tanggal 17 Oktober 2019 kemarin (waktu berlakunya UU KPK baru) kelembagaan KPK sudah mati suri. Pelemahan demi pelemahan terhadap KPK, semakin menunjukkan bahwa pemerintah dan DPR memang tidak menginginkan negeri ini terbebas dari korupsi," sambungnya.
Sebelumnya, Juru Bicara Presiden Jokowi Fadjroel Rachman, mengatakan Dewas KPK akan diambil dari unsur hukum dan non hukum. Fadjroel membuka peluang adanya pensiunan penegak hukum yang masuk menjadi Dewas KPK.
"Sangat dimungkinkan, kalau pensiun boleh dong masuk di dalamnya. Tentu yang tidak aktif kan," kata Fadjroel di Kompleks Istana Kepresidenan, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Selasa (5/11).
Isu eks Ketua KPK Antasari Azhar dan eks Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menjadi calon Dewan Pengawas (Dewas) KPK juga sempat menyeruak. Jokowi mengatakan nama-nama Dewas KPK masih dalam penggodokan.
"Masih dalam penggodokan. Tetapi kita harapkan yang ada di sana (Dewan Pengawas KPK) memiliki integritas," kata Jokowi saat menjawab pertanyaan wartawan apakah nama Antasari dan Ahok masuk dalam bursa Dewas KPK, di Jiexpo Kemayoran, Jakarta, Rabu (6/11/2019).**