RIAUMANDIRI.ID - Pro dan kontra pelarangan celana cingkrang di instansi pemerintah terus mengemuka. Tiga ormas Islam di negara ini, yakni Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), hingga Majelis Ulama Indonesia (MUI) turut menanggapi. Bagaimana sebenarnya sejarah celana panjang?
Pada dasarnya, celana cingkrang termasuk celana panjang juga, hanya saja ujungnya tidak sampai mata kaki pemakainya. Celana panjang punya sejarah yang panjang pula, mulai era sebelum Nabi Muhammad SAW. Celana panjang merupakan produk budaya penunggang kuda suku Iran kuno.
Ulrike Beck dkk dalam penelitiannya yang diterbitkan dalam jurnal Quaternary International tahun 2014 menjelaskan perihal penemuan celana panjang. Mereka melacak sampai ke mumi dari Abad 13 Sebelum Masehi yang ditemukan di Yanghai, Xinjiang, China. Dahulu, kawasan tersebut belum dihuni oleh suku Turkis Uyghur seperti saat ini, melainkan dihuni oleh suku rumpun Iran bernama Scythia (Skit).
Mumi kaum nomaden itu terjaga dengan baik, bahkan ada yang usianya mencapai Milenium 2 Sebelum Masehi menurut uji karbon. Tak hanya jasad, pakaian mereka juga terjaga dari kerusakan karena kawasan itu punya kelembaban yang sangat rendah dengan suhu yang tinggi pada musim kemarau.
Dahulu kala, mumi ini adalah orang-orang Scythia yang nomaden menggembala di padang rumput. Mereka mampu berkuda menempuh jarak yang sangat jauh di sabana dan stepa Eurasia.
Saat ditemukan, banyak mumi di Yanghai mengenakan celana panjang model lurus berbahan wol. Celana ini dibikin dari tiga bagian, yakni bagian depan, belakang, dan selangkangan. Jahitan selangkangan berjenis menyilang, menyambungkan bagian kiri dan kanan. Lebar pinggangnya 60 cm, panjang sisi luar 104 cm, dan panjang sisi dalam 64 cm. Dilihat dari lebar bagian selangkangan dan ketinggian pinggang, celana ini memang didesain untuk berkuda.
Mereka sudah bercelana di saat orang-orang di Eropa Barat belum bercelana. Pada Abad 6 Sebelum Masehi, orang-orang Celtic (Kelt) mengenal celana dari pengembara Scythia. Suku Jermanik Eropa mengenal celana dari orang Celtic. Barulah Kekaisaran Romawi mengadopsi celana, terbatas untuk personel pasukan berkudanya saja, pada Abad 1 Sebelum Masehi. Roma ogah-ogahan memakai celana. Kenapa?
Asisten Profesor bidang sejarah dari Universitas Iowa, Sarah Bond, menuliskan untuk Forbes, "Orang Roma Sejati Tidak Pakai Celana". Dalam penjelasannya, orang Romawi Abad 4 SM menganggap celana dan sepatu bot sebagai busana suku barbar, penunggang kuda yang brutal, yakni Scythia, suku Jermanik, Gothik, dan Hun.
Orang Roma tetap ogah-ogahan memakai celana sampai berabad-abad lamanya. Pada 397 M dan 399 M, muncul aturan tegas yang melarang penduduk roma mengenakan celana dan sepatu bot di kota. Begini bunyinya:
"Di dalam kota Roma, tak ada seorangpun yang boleh mengenakan celana atau sepatu bot. Barangsiapa yang keras kepala melanggar, orang tersebut akan dihukum sesuai dengan status hukumnya dan diusir dari kota suci ini (Kodeks Theodosianus, 399 M)"
Pemerintah Roma mencoba mewujudkan kotanya sebagai wilayah damai. Pemakaian celana dirasa berisiko merusak suasana damai, karena celana panjang pada saat itu identik dengan busana pasukan bersenjata. Kota Roma saat itu merupakan 'pomerium' yang suci dari penggunaan senjata, warganya mengenakan tunik (jubah) pendek atau toga panjang. Kota tanpa celana ini benar-benar dijarah pasukan barbar bercelana, yakni Suku Visigoth yang dipimpin Alaric, Romawi Barat hancur pada 476 M.
Di era Bizantium (Romawi Timur) Abad 6 M, tren pemakaian celana panjang sudah tak tertahankan lagi. Saat itu di Bizantium, pemerintah semakin sulit mengidentifikasi mana penduduk Romawi asli dan mana yang orang asing, karena orang Romawi aslipun sudah mengenakan celana panjang. Lama-kelamaan, kaum elite Bizantium memakai busana model suku barbar juga, yakni bercelana panjang, dilengkapi atasan berlengan. Bahkan, pakaian itu menjadi pakaian resmi kerajaan pada Abad 6 M.