RIAUMANDIRI.ID, JAKARTA - Fenomena cross hijaber pria yang mengenakan hijab jadi pembicaraan hangat belum lama ini. Cross hijaber jadi fenomena yang meresahkan di Indonesia.
Cross hijaber awalnya ramai diperbincangkan di media sosial dan viral, di mana sekelompok pria menggunakan hijab syar'i lengkap dengan cadar. Dari postingan sejumlah cross hijaber di media sosial ditemukan bahwa mereka berani masuk ke dalam masjid hingga toilet wanita.
Istilah cross hijaber sendiri diambil dari kata crossdressing yakni aksi mengenakan pakaian yang tidak sesuai dengan jenis kelamin bawaan dari lahir. Menurut salah satu cross hijaber yang memiliki nama samaran Dini, komunitas pria yang berpakaian tak sesuai gender di Indonesia sebenarnya sudah ada sejak lama.
"Saya lihat 2005 dan 2006 itu sudah banyak, cuma dulu nyampur, crossdresser sama waria wadahnya nyampur tidak terpisah. Jadi bikin orang ambigu, crossdresser bagian dari waria, apa LGBT, jadi dikhususin sendiri. lama-lama kita memisahkan diri dari mereka. karena kita memang bukan mereka," ungkap Dini saat diwawancarai Wolipop di Penginapan MK House Tendean, Jakarta Selatan.
"Kalau dilihat dari sosial media banyak, ada beberapa akun dari crosdresser juga memiliki followers yang banyak, puluhan ribu juga ada. Cuma mereka juga membatasi diri," tambahnya.
Pria yang mulai melakukan lintas busana pada 2010 ini menjelaskan bahwa kegiatan crossdressing tidak termasuk bagian dari LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender). Salah satu contoh crossdressing yang biasa dijumpai di kehidupan sehari-hari adalah cosplay.
"Kita tidak termasuk LGBT, kita beda jauh, karena LGBT mostly menyimpang kan mereka, kalau crossdresser kita bisa bilang 80 persen masih heteroseksual," ujar Dini.
Cross hijaber bernama Dini ungkap komunitas pria yang suka pakai baju wanita di Indonesia. Pria berusa 27 tahun ini pun tergabung dalam grup Facebook dan Whatsapp. Meskipun tak pernah bertemu secara tatap muka dan berkumpul antar sesama crossdresser, Dini mengaku saling berhubungan dengan rekannya di media sosial.
"Gabung di grup Facebook,Wa. Wa sih tadi saya pantau untuk crossdresser udah lumayan 200-an. Telegram bisa ribuan, Facebook ribuan. Teman saya pun di Facebook bisa dibilang 70 persen crossdresser sisanya cewek asli," katanya.
"Karena keviralan ini crossdresser yang biasa seakan-akan memisahkan diri nggak mau ikut keviralan ini, jadi yang crossdresser cosplay pindah memisahkan diri, sekarang crossdresser terbagi tiga yang hijab, biasa kasual, sama yang cosplay," terang Dini.
Menurut cross hijaber yang tinggal di Depok, Jawa Barat ini aksinya tidak bisa dibilang sebagai penyakit mental atau penyimpangan seksual. Dini pun menjelaskan banyak crossdresser di Indonesia yang memiliki karier bagus, hanya saja mereka tidak bisa terang-terangan berbagi kehidupan mereka sebagai crossdresser.
"Profesi guru sekolah ada, engineer, berseragam itu ada, polisi ada, tentara ada. Yang kekar-kekar itu ada juga yang crossdresser. Di pemerintahan ada juga setingkat kecamatan itu ada. Jadi kita sebenernya banyak dari berbagai macam profesi itu ada, nggak melulu soal pengangguran atau yang punya waktu banyak," tutur Dini.**