RIAUMANDIRI.ID, JAKARTA – Selangkah lagi, Komisaris Jenderal Polisi Idham Aziz, akan memastikan posisi sebagai Kepala Kepolisian Republik Indonesia atau Kapolri. Ia menggantikan Tito Karnavian yang diberhentikan Joko Widodo, untuk menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri di Kabinet Indonesia Maju 2019-2024.
Selasa siang, 29 Oktober 2019, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melakukan Sidang Paripurna. Ketua Komisi III DPR, Herman Herry mengatakan, DPR RI telah menerima penugasan dari Badan Musyawarah untuk melakukan uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test).
Maka, Rabu malam nanti, 30 Oktober 2019, Komisi III akan melakukan pleno untuk meminta persetujuan fit and proper test dari seluruh anggota.
Sedangkan pagi ini, anggota dewan akan melakukan kunjungan ke kediaman calon Kapolri untuk melihat latar belakang kehidupan Idham dan keluarganya. Herman menambahkan, setelah kunjungan, komisinya akan menerima masukan masyarakat. Bila masih memungkinkan, sorenya akan langsung dilakukan fit and proper test.
Politikus PDI Perjuangan itu menjelaskan, dalam uji kepatutan dan kelayakan, ada mekanisme bahwa semua anggota Komisi III mempunyai hak untuk bertanya tentang semua hal terkait Kapolri. Idham akan diuji visinya terkait permasalahan Polri ke depan.
"Tentu, terkait utamanya adalah visi misi dalam memimpin Polri ke depan, road map dalam memimpin Polri ke depan, apa yang akan dilakukan, dan menjadi prioritas-prioritas yang akan disampaikan," ujar Herman.
"Jika selesai fit and proper test, mungkin malam hari, kami akan lakukan penetapan calon Kapolri terpilih yang dibuatkan keputusan tingkat pertama di Komisi III. Kemudian, hari Kamis, kami teruskan ke Paripurna," tambah Herman.
Saat pembukaan Sidang Paripurna, DPR menyampaikan telah menerima surat dari Presiden Jokowi, terkait pencalonan Idham Aziz sebagai calon Kapolri. Idham menjadi calon tunggal, karena tidak ada lagi kandidat lain yang muncul atau disebut oleh Jokowi.
Tugas Utama
Banyak pihak menyambut baik penunjukan Idham Aziz sebagai Kapolri pengganti Tito Karnavian. Idham dikenal sebagai pribadi yang tidak gila publikasi, bukan orang yang suka cari panggung, dan mau ngetop sendiri. Idham juga kerap dikaitkan dengan Tito, mantan Kapolri yang sekarang menjadi Menteri Dalam Negeri.
Idham merupakan lulusan Akademi Kepolisian (Akpol) 1988. Ia mengawali karier Kepolisian di Polres Bandung, dengan berbagai jabatan hingga 1993. Tahun 1999, Idham melanjutkan kariernya di Polda Metro Jaya, dengan berbagai jabatan hingga 2004. Pada 2004, Idham menjabat sebagai Inspektur Bidang Operasi Inspektorat Wilayah Daerah Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah.
Ia dikenal sebagai perwira Polri yang memiliki karier cemerlang dan mulus. Dia adalah anggota Tim Kobra di bawah pimpinan Tito, yang dengan tegas menangkap Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto Saat itu, Idham bertugas di Unit Harda Polda Metro Jaya.
Selain itu, Idham ikut menumpas otak bom Bali, Dr Azhari di Batu, Malang, pada 2005. Saat itu, Idham menjabat Kepala Unit Riksa Subden Investigasi Densus Polri. Lagi-lagi, Idham kerja bareng Tito dan tim lain di antaranya, Petrus Reinhard Golose, Rycko Amelza Dahniel, dan lainnya. Keberhasilan menumpas Dr. Azhari, diganjar kenaikan pangkat luar biasa dari Jenderal Sutanto, Kapolri saat itu.
Usai berhasil melumpuhkan otak bom Bali, Dr Azhari pada 9 November 2005, Idham kembali mendampingi Tito terbang ke Poso, Sulawesi Tengah, untuk menuntaskan kasus mutilasi tiga gadis. Selanjutnya, Idham juga ikut menumpaskan dua teroris kelompok Santoso di Poso, Sulawesi Tengah. Saat itu, ia menjabat sebagai Kapolda Sulawesi Tengah.
Saat menjabat Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya, Idham berhasil mengungkap pelaku kasus pembunuhan dan sodomi 14 anak jalanan yang ditangkap pada 9 Januari 2010. Saat menjadi Kapolda Metro Jaya, Idham berhasil mengungkap kasus penyelundupan narkotika jenis ganja seberat 1,3 ton dari Aceh ke Jakarta, dan penyelundupan satu ton sabu-sabu 1,6 ton dari Taiwan di Anyer, Banten.
Idham terlibat juga dalam operasi Camar Maleo bersama TNI, untuk menangkap kelompok teroris Santoso di wilayah pegunungan Poso, Sulawesi Tengah, pada awal 2015.
Terakhir, Idham berhasil menjaga situasi keamanan dan ketertiban menjadi kondusif dan aman saat Jakarta sebagai tuan rumah perhelatan Asian Games 2018. Polri dan TNI berhasil bahu membahu mengamankan Jakarta, yang saat itu dikunjungi ribuan atlet manca negara.
Kepala Staf Umum (Kasum) TNI, Letnan Jenderal Joni Suprianto mengakui, momen Asian Games adalah momen yang berhasil menunjukkan bahwa TNI dan Polri begitu kompak dalam pengamanan Jakarta, yang sedang dikunjungi atlet-atlet terbaik Asia. "Sehingga, dunia internasional dapat melihat Indonesia aman," katanya.
Selain sederet prestasi itu, Jenderal bintang tiga tersebut selama ini dikenal dekat dengan kalangan TNI dan low profile.
Ketua Komisi III, Herman Herry menilai, Jokowi telah menunjuk figur yang tepat sebagai pengganti Tito Karnavian. "Figur ini adalah figur yang tertib, dingin, punya jam terbang dalam sejumlah penugasan. Terutama, situasi dan kondisi bangsa hari ini tentang hoaks, radikalisme, intoleransi," kata dia.
Herman berharap, jika nanti terpilih, Idham akan melanjutkan tugas-tugas dan memimpin institusi Polri. Terutama, membuat institusi Polri menjadi solid dalam melakukan penugasan. Ia yakin, penunjukan Idham juga tak akan menimbulkan gejolak atau resistensi di kalangan internal. Sebab, Idham adalah sosok yang disegani dan bisa diterima banyak pihak.
Selain itu, menurut Herman, Idham adalah figur yang tepat untuk menjawab tantangan di era sekarang, yaitu menjaga keamanan negara dari intoleransi, radikalisme, hoax, hingga terorisme.
Letjend Joni Suprianto juga memuji Idham. Ia meyakini pemilihan Idham sebagai Kapolri akan memperkuat hubungan TNI dan Polri, sebagaimana yang pernah terjadi ketika mengamankan Jakarta, saat perhelatan Asian Games 2018.
“Saya kira, pemilihan Pak Idham sebagai Kapolri akan membuat sinergi TNI/Polri semakin kuat. Apalagi, saya dan beliau pernah bekerja bersama dalam pengamanan wilayah Jakarta,” ujar Joni melalui keterangan tertulisnya pada wartawan, Selasa 29 Oktober 2019.
Dia mengatakan, sebagai mitra kerja, ia pasti akan mendukung sang Kapolri baru. “TNI pasti akan mendukung penuh Pak Idham dalam mengamankan negara,” kata mantan Wakil Kepala BAIS ini.
Kasum TNI sangat yakin, di bawah kepemimpinan Idham, Polri akan menjadi lembaga penegak hukum yang profesional. “Pak Idham adalah seorang pemimpin yang sangat percaya kepada anak buahnya dan dia pasti akan mendelegasikan wewenang dengan baik kepada bawahannya," ujarnya.
Tokoh Agama Katolik, Antonius Romo Benny mengatakan, penunjukan Idham sudah tepat. Romo Benny melihat, sosok Idham merupakan polisi yang profesional dan memiliki rekam jejak yang baik, juga prestasi gemilang dalam karier sebagai Polri.
“Pilihan Pak Jokowi sangat tepat dalam era demokrasi dan kemajuan teknologi, serta maraknya hoaks dan bahaya radikalisme mengancam,” kata Romo Benny kepada wartawan, Selasa 29 Oktober 2019.
Menurut dia, demi keutuhan bangsa dibutuhkan Polri yang mampu menjalin tugas secara profesional dan mampu membaca tanda zaman. Kini, kejahatan sudah menggunakan alat teknologi yang canggih.
“Makanya, dibutuhkan Kapolri yang memiliki leadership berwawasan global dan mampu menjaga roh Pancasila dalam dinamika politik,” ujarnya.
Selain itu, Romo Benny mengatakan, figur yang dibutuhkan Korps Bhayangkara harus punya kemampuan dalam menguasai medan dan leadership yang mampu menjalin sinergi dengan TNI.
“Ke depan, diharapkan polisi mampu untuk menegakkan supremasi sipil, yakni polisi yang humanis dan memiliki kemampuan yang handal dalam menguasai teknologi, informasi dan komunikasi,” tambah Romo Benny.
Ganjalan Masa Tugas
Meski mendapat puja puji dan melenggang mulus, namun Indonesian Police Watch (ICW) melihat sisi yang berbeda. Presidium IPW, Netta S Pane mengatakan Surat Presiden (Surpres) pengganti Kapolri dinilai cacat administrasi. Sebab, Kabareskrim Komjen Pol Idham Azis yang ditunjuk sebagai pengganti Tito Karnavian tidak memenuhi syarat administrasi sebagai Kapolri.
“Surat Kompolnas (Komisi Kepolisian Nasional) maupun surat Presiden ke DPR itu cacat administrasi. Sebab, sesuai ketentuan Kompolnas, masa dinas calon Kapolri itu minimal dua tahun. Sementara, masa dinas Idham Azis hanya satu tahun lebih,” kata Neta, saat dikonfirmasi di Jakarta, pekan lalu.
Masa jabatan Idhamm seharusnya memang akan berakhir pada 22 Januari 2021. Dengan begitu, Idham akan diberhentikan pada waktu itu juga. Untuk itu, Neta mendesak Komisi III DPR segera menolak Idham sebagai Kapolri dan mengembalikan Surpres tersebut kepada Jokowi. Komisi III harus meminta Jokowi menyerahkan nama calon Kapolri sesuai ketentuan yang berlaku.
“Jika tidak, pencalonan Kapolri kali ini akan menjadi preseden,” katanya.
Namun, pernyataan Neta dibantah oleh Kompolnas. Lembaga ini telah memberikan pertimbangan kepada Presiden soal calon Kapolri. Menurut Kompolnas, penunjukkan Idham sudah sesuai dengan UU No 2/2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri).
Komisioner Kompolnas, Poengky Indarti menjelaskan, pihaknya dalam merekomendasikan ataupun menjaring calon Kapolri mengacu kepada pasal 11 ayat (6). "Syaratnya adalah Pati (Perwira Tinggi) Polri yang masih aktif, dengan memperhatikan jenjang kepangkatan dan karier," katanya.
Poengky melanjutkan, berdasarkan penjelasan Pasal 11 ayat (6) yang dimaksud dengan "jenjang kepangkatan" ialah prinsip senioritas dalam arti penyandang pangkat tertinggi di bawah Kapolri yang dapat dicalonkan sebagai Kapolri.
"Tidak ada itu aturan dua tahun, tiga tahun, empat tahun, dan sebagainya. Undang-undangnya saja bunyinya tidak menyebut tahun," ujar Poengky.
Dosen Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Chairul Huda mengatakan, Jokowi sudah tepat mengusulkan Idham ke DPR RI. “Normatifnya, memang memenuhi syarat dan bintang tiga, cukup senior dan track record selama ini kan baik. Tidak ada hal yang negatif yang diangkat atau sempat diberitakan. Jadi, menurut saya tidak ada masalah,” kata dia, saat dihubungi. Sabtu 26 Oktober 2019.
Chairul menambahkan, tidak ada lagi alasan bagi anggota legislatif untuk meloloskan Idham sebagai calon Kapolri.
“Kedudukan terakhirnya kan Kabareskrim. Jadi, memang sangat hampir tidak ada alasan untuk DPR tidak memberikan persetujuan. Ini kan pilihan Presiden, sudah dipertimbangkan juga oleh Kompolnas. Jadi, tidak ada hal yang kemudian bisa menyebabkan ini terhambat,” ujar Pakar Hukum Pidana ini.**