RIAUMANDIRI.CO, JAKARTA - Pengacara pro-Papua asal Indonesia Veronica Koman mengatakan dia kini mendapat ancaman pemerkosaan dan pembunuhan setiap hari karena kerap mengabarkan apa yang terjadi di Papua dan Papua Barat melalui akun Twitternya.
Veronica kini tinggal di Australia dan sudah masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) pihak kepolisian karena dianggap menyebarkan hoaks tentang Papua.
"Saya mulai mendapat ancaman pembunuhan dua tahun lalu dan sekarang hampir setiap hari ada ancaman pembunuhan dan pemerkosaan dari Internet," kata perempuan 31 tahun itu dalam wawancara khusus dengan stasiun televisi Australia, SBS, kemarin.
"Mereka ingin membunuh si pembawa pesan. Mereka tidak bisa membantah data saya. Semua cuplikan video itu tidak bisa mereka bantah jadinya mereka ingin menghancurkan kredibilitas saya," ujarnya.
Veronica mulai terlibat dalam perjuangan warga Papua Barat untuk merdeka pada 2014 ketika insiden lima pendemo di Papua diduga dibunuh dan 17 lainnya luka karena diserang militer Indonesia. Kejadian itu dikenal dengan Pembunuhan Paniai.
"Pada waktu itu saya berpikir 'wah mengapa tidak ada yang marah? Anak sekolah dibunuh oleh aparat'," kata dia.
"Sejak itu ini menjadi misi pribadi saya untuk mengungkap apa yang terjadi di Papua Barat.
Ancaman juga Diarahkan ke Keluarga
Pekan lalu terjadi insiden paling berdarah dalam 20 tahun konflik di Papua ketika 33 orang tewas dibunuh di Wamena.
Cuplikan video yang diperoleh SBS memperlihatkan TNI melepaskan tembakan ketika siswa SMA Papua berunjuk rasa anti-rasisme.
Menurut pemerintah, korban tewas sebagian besar karena terbakar. Aparat mengatakan pelaku pembunuhan itu adalah "kelompok kriminal bersenjata".
Meski tinggal di Australia, Veronica mengatakan keluarganya di Indonesia masih dalam bahaya. Belum lama ini polisi menggeledah rumahnya di Jakarta.
"Keluarga saya di Jakarta sudah pindah lebih dari sebulan untuk menghindari intimidasi," kata dia. Veronica juga menuturkan ancaman terhadap dirinya juga diarahkan kepada keluarganya.
Masa Paling Gelap Dalam 20 tahun Terakhir
Lebih dari 6000 tentara kini dikerahkan di Papua untuk menangani unjuk rasa anti-rasisme dan pro-kemerdekaan Papua dalam enam pekan terakhir.
Menurut Veronica, sedikitnya 100 warga Papua Barat ditahan karena berunjuk rasa dan didakwa makar karena membawa bendera Bintang Kejora.
Konflik di Papua antara pemerintah Indonesia dengan orang Papua sudah berlangsung sejak 1960-an.
Pada 1969 Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang diikuti lebih dari 1000 warga Papua menyalurkan suaranya dan berakhir dengan hasil Papua masih tetap dalam NKRI.
Sejak itu warga kelompok pro-kemerdekaan Papua Barat mengatakan mereka mengalami 'genosida perlahan', mengingatkan situasi ketika di TImor Leste dua dekade lalu.
"Ini adalah masa paling gelap dalam 20 tahun terakhir," ujar Veronica.
"Saya belum pernah mendengar banyaknya korban tewas sekaligus dalam sehari yang menurut versi pemerintah 33 orang. Ini yang terparah."
Veronica mengatakan, saat ini sulit untuk mendapat akses akurat jumlah korban tewas di Papua karena rumah sakit juga dijagai. Warga Papua Barat juga takut ke rumah sakit jika mere terluka karena takut mereka dibunuh.
"Itulah tujuan aparat keamanan. Mereka menutup semua akses supaya hanya ada satu versi informasi dari pemerintah," kata dia.
Hingga kini media asing masih dilarang masuk ke Papua.**