Sejumlah perusahaan badan usaha milik negara (BUMN) bakal memiliki jajaran komisaris baru. Dalam jajaran itu ada sejumlah nama yang dikenal sebagai politisi, relawan, dan pengamat yang kerap membela kebijakan Presiden Jokowi. Di antaranya adalah Cahaya Dwi Rembulan Sinaga, yang digadang menjabat komisaris independen PT Bank Mandiri Tbk. Cahaya sebelumnya dikenal sebagai relawan yang bergabung dengan Tim Transisi Jokowi-JK.
Kemudian, ada Pataniari Siahaan yang ditunjuk sebagai komisaris di PT Bank Negara Indonesia. Pataniari adalah mantan anggota DPR RI dari Fraksi PDIP (2004-2009). Ada juga Diaz Hendropriyono, ketua umum Koalisi Anak Muda dan Relawan Jokowi yang diberi tugas sebagai komisaris di PT Telkomsel. Lalu, Alexander Sonny Keraf sebagai Komisaris Utama PT Bank Rakyat Indonesia Tbk. Sebelumnya, Sonny merupakan anggota Balitbang PDIP.
Bersama Sonny, ada pula nama Jeffry Wurangian. Dari informasi yang ada, Jeffry pernah menjadi calon anggota legislatif DPR RI dari Partai Nasdem. Sedangkan, dari jajaran pakar/pengamat yang pro Jokowi, ada dua nama yang ketiban pulung, yaitu Refly Harun dan Revrisond Baswir yang didapuk masing-masing menjadi komisaris utama PT Jasa Marga dan komisaris di PT Bank Negara Indonesia.
Banyak yang Merugi
Memang, mereka belum tentu terpilih secara definitif. Penunjukan itu belumlah final. Komisaris dan direksi harus lolos uji kepatutan dan kelayakan alias fit and proper test yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Penilaian oleh OJK wajib dilakukan untuk perusahaan bergerak dalam bidang jasa keuangan, seperti perbankan, pembiayaan, hingga asuransi. Berdasarkan pengalaman sebelumnya, ada beberapa direksi BUMN yang diangkat dalam RUPS tetapi digugurkan oleh OJK.
Sebenarnya, secara politis, keputusan Presiden Jokowi memilih sejumlah pendukungnya di pemilu presiden lalu sebagai komisaris di beberapa BUMN merupakan hal yang wajar. Setiap orang yang menjadi presiden di republik ini agaknya akan melakukan hal serupa. Jokowi memang tengah melakukan politik balas budi kepada orang-orang yang mendukungnya untuk menjadi presiden.
Adalah hal yang wajar jika mereka yang berkeringat di pemilu lalu mendapat jabatan di pemerintahan atau juga di BUMN. Jokowi perlu tangan kanan untuk mengawasi BUMN. Yang penting, pendukung yang menerima hadiah itu wajib memiliki kompetensi dan lulus uji dari OJK, bukan asal pilih saja.
Kendati begitu, dari sisi manajemen bisnis, masuknya politisi dan orang-orang yang dekat dengan kekuasaan tetap saja menimbulkan persoalan. Isu yang biasanya mengemuka adalah conflicting objectives (pertentangan tujuan), lack of transparency (minimnya transparansi), dan political interference (gangguan politik). Dalam hal gangguan politik, misalnya, para politisi dan orang dekat penguasa yang memiliki kuasa terhadap BUMN kerap dengan bebas mengutak-atik BUMN sesuai dengan selera pribadi dan kelompok mereka.
Contoh yang paling sederhana adalah demi meraup suara pemilih pada ritual pemilihan umum, pemerintah memaksa direksi BUMN untuk melakukan kegiatan bisnis di daerah tertentu. Padahal, berdasarkan kalkulasi bisnis, kegiatan tersebut tidak akan memberikan keuntungan kepada perusahaan. Itulah yang ironi terjadi dalam perjalanan pengelolaan BUMN kita selama ini. Akibatnya, tidak sedikit BUMN yang merugi.
Kerugian itu ditimbulkan tidak lain karena banyaknya elite bangsa ini yang memanfaatkan BUMN. Malah, terkesan BUMN seperti menjadi "sapi perah" oleh pemerintah untuk kepentingan politik. Seharusnya, BUMN hanya memikirkan hal-hal bisnis, tidak boleh dibawa-bawa ke dalam pusaran politik. Sehingga, mendapatkan keuntungan yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat Indonesia.
Menjawab Tantangan
Gambaran gamblang tentang memblenya BUMN kita pernah diuraikan oleh Presiden Direktur OSO Grup Tanri Abeng. Menurutnya, pada 2014 saja, dari 141 BUMN yang ada di Indonesia ternyata hanya mampu menyumbang 10 miliar dolar AS atau Rp 127 triliun kepada APBN. Ini jauh berbeda dengan Petronas, perusahaan minyak Malaysia. Padahal, pada saat yang sama, Petronas mampu menyumbang 25 miliar dolar AS atau sekira Rp318 triliun untuk APBN Malaysia.
Perbedaan tersebut, menurut Tanri, terjadi karena BUMN Indonesia masih memiliki sejumlah tantangan. Tantangan pertama adalah semua BUMN belum dikelola 100 persen secara profesional. Pendekatannya masih birokratis. Kedua, pengaruh politik dalam operasional dan kinerja pada BUMN masih sangat kental. Ketiga, Undang-undang BUMN belum jelas.
Oleh karena itu, ketiga tantangan sebagaimana diungkap Tanri harus segera dijawab oleh jajaran komisaris yang disebut di atas. Kalau lulus ujian dari OJK, mereka harus menjawab keraguan dan kekhawatiran publik. BUMN Indonesia harus bisa dibawa bersaing dengan BUMN lainnya yang ada di negara lain. Para komisaris BUMN yang baru ditunjuk itu harus berkonsentrasi memikirkan bagaimana memajukan sebuah BUMN tanpa tersandera oleh kepentingan politik penguasa.
BUMN tidak boleh lagi menjadi sapi perah! Mereka wajib memikirkan efisiensi dalam segala hal agar bisa kompetitif. Terlebih lagi, mulai tahun ini ASEAN Economic Community (AEC) telah menjadi tantangan sekaligus peluang bagi dunia usaha di Indonesia. Pertanyannya, apakah BUMN kita nanti akan menjadi pemain dalam AEC 2015 atau hanya menjadi penonton? (rol)
Berkhidmat di BPP Kementerian Dalam Negeri