RIAUMANDIRI.CO, JAKARTA – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai negara telah gagal memenuhi kebutuhan dasar manusia untuk bernafas. Kegagalan itu lantaran dampak buruk kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang terjadi di sejumlah daerah.
"Padahal selama ini alam Indonesia telah menyediakan oksigen gratis," kata Kepala Departemen Advokasi Walhi, Zenzi Suhadi di Jakarta, Selasa (24/9/2019).
Walhi mengatakan, kualitas udara selama dua bulan terakhir dinilai paling parah. Apabila situasi tersebut melewati Oktober 2019 maka seluruh wilayah di Kalimantan dan Sumatera akan krisis oksigen.
Melihat kondisi yang semakin parah tersebut, Walhi menilai pemerintah belum hadir dengan maksimal untuk keselamatan masyarakat terdampak kabut asap terutama di Kalimantan dan Sumatra.
"Kami tidak melihat tanda-tanda pemerintah menyiapkan skenario tertentu untuk memastikan keselamatan masyarakat ini," katanya.
Kasus karhutla dan kabut asap sudah terjadi sekitar 22 tahun terakhir dan puncaknya pada 2015. Meskipun usaha dari pemerintah sudah cukup banyak di antaranya memulihkan ekosistem maupun penegakan hukum, risiko kebakaran di Indonesia tetap meningkat.
Risiko kebakaran tersebut dipengaruhi oleh tiga hal. Pertama, gagalnya proses pemulihan ekosistem. Kedua, masih terjadi penambahan wilayah yang dirusak baik di provinsi saat ini terbakar maupun provinsi lain di antaranya Papua dan Aceh.
Faktor ketiga yang menyebabkan risiko kebakaran tetap meningkat adalah karena kejahatannya belum dihentikan. Artinya, masih akan ada niat dari para pelaku untuk mengulangi pembakaran.
"Sebenarnya hampir setiap provinsi saat ini mengalami kebakaran dan kabut asap, hanya saja Sumatera dan Kalimantan lebih parah," ujar dia.
"Parahnya karhutla di Tanah Andalas dan Pulau Borneo dikarenakan hampir seluruh wilayah yang terbakar merupakan ekosistem tanah gambut sehingga asapnya lebih banyak," ujarnya.