Ada apa dengan negeri ini. Kisruh silih berganti. Kalau beberapa waktu yang lalu kita disuguhkan adanya DPR tandingan yang merupakan kisruh eksternal partai politik (parpol). Di mana parpol yang terhimpun di dalam Koalisi Merah Putih (KMP) punya DPR serta perlengkapannya sendiri. Begitu juga dengan parpol yang terhimpun di dalam Koalisi Merah Putih (KIH). Alhamdulillah, kisruh itu sudah mendingin.
Namun hari ini kita disuguhkan tontonan baru, yaitu suguhan kisruh di internal parpol. Tak tanggung-tanggung, tiga parpol sedang bergejolak secara internal. Mulai dari Partai Golkar, PPP, sampai dengan PAN yang hari ini di mana kubu Hatta Rajasa sedang mempersiapkan dokumen yang akan disampaikan ke Menteri Hukum dan HAM sebagai bentuk penolakan atas terpilihnya Zulkifli Hasan sebagai Ketua Umum PAN.
Ironisnya lagi, kisruh di internal parpol ini terutama Golkar tidak hanya dalam tataran saling gugat-menggugat secara hukum atau ke ke pengadilan, namun sampai pada tataran saling mencaci dan kekerasan fisik. Padahal kalau kita rujuk pada Undang-Undang 2/2008 tentang Partai Politik, terutama Pasal 10 Ayat (2) huruf (c) menyebutkan bahwa: “Tujuan khusus Partai Politik adalah: membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”.
Bukan Hal Baru
Sejarah mencatat bahwa kisruh di internal parpol, gugat-menggugat baik karena perbedaan pandangan maupun karena tidak lagi punya posisi kuat partai tersebut, terutama pada masa reformasi, bukanlah hal yang baru di negeri ini. Bahkan tak jarang kisruh itu kemudian melahirkan partai baru, terutama di Partai Golkar. Pertama, Prabowo Subianto. Tak mampu menjadi yang utama di internal Partai Golkar, Prabowo mendirikan partai baru, yaitu Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra).
Kedua, Wiranto. Mantan Panglima TNI ini juga merupakan alumni Golkar. Di tahun 2004 lalu, Wiranto adalah calon Presiden dari Golkar. Berikutnya, pada pemilihan presiden dan wakil presiden tahun 2009 lalu, Wiranto dicalonkan Golkar sebagai calon wakil presiden yang mendampingi Jusuf Kalla. Tak punya posisi yang begitu kuat di Golkar, Wiranto mendirikan partai baru, Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura).
Ketiga, Surya Paloh. Seperti halnya Prabowo dan Wiranto, Surya Paloh juga merupakan alumni Partai Golkar. Di tahun 2009 lalu, Munas Golkar di Pekanbaru, Surya Paloh kalah saing dari Aburizal Bakrie untuk memperebutkan kursi orang nomor satu di partai yang berlambangkan pohon beringin itu. Tak lama setelah itu, Surya Paloh pun mendirikan ormas yang kemudian berubah haluan menjadi partai, yaitu Partai Nasional Demokrat (Nasdem).
Keempat, Sutiyoso. Mantan Gubernur DKI Jakarta ini juga merupakan alumni partai Golkar. Seperti halnya Prabowo, Wiranto, dan Surya Paloh yang mendirikan partai baru, Sutiyoso kemudian juga mendirikan partai yaitu PKPI.
Kelima, Hary Tanoesoedibjo atau yang lebih dikenal dengan Hary Tanoe. Bos MNC Group ini adalah alumni Hanura. Sebelum alumni Hanura, Hari Tanoe sebelumnya adalah alumni Partai Nasdem. Berbeda pandangan dengan Surya Paloh ketika itu mengenai struktur partai, Hari Tanoe lalu kemudian berpindah hati ke Partai Hanura. Hari Tanoe merumput dengan Hanura tak begitu lama. Tak dapat dipungkiri bahwa alasan Hari Tanoe keluar dari Hanura, tak terlepas dari bergabungnya Hanura dalam KIH yang di dalamnya juga terdapat Nasdem. Hari Tanoe pun melahirkan partai baru, Partai Persatuan Indonesia (Perindo).
Penyebab Utama
Banyak faktor yang menyebabkan mengapa terjadinya perpecahan di internal parpol, baik di Golkar, PPP, maupun PAN. Namun, faktor yang paling utama adalah karena tidak adanya figur penyatu di internal parpol tersebut. Dengan bahasa lain, tidak ada figur dapat dijadikan “simbol parpol”.
Berbeda halnya dengan parpol yang lainnya, terutama di intenal Partai Demokrat, Gerindra, Hanura, Nasdem, dan PDIP. Di Demokrat ada SBY, Gerindra ada Prabowo, Hanura ada Wiranto, Nasdem ada Surya Paloh, PDIP ada Megawati. Nah, bagaimanakah dengan PKB dan PKS? PKB dan PKS juga tidak ada figur yang dapat dijadikan sebagai “simbol partai”. Kalau tidak hati-hati dan tidak saling memahami, maka tak mustahil kalau kemudian PKB dan PKS akan mengalami nasib seperti halnya Golkar, PPP, dan PAN hari ini.
Dosen dan Pembina Perhimpunan Mahasiswa Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UIR.