Oleh: Sri Lestari Ummu Yahya
RIAUMANDIRI.CO - Beberapa hari terakhir, publik diguncangkan dengan insiden berdarah di papua. Papua bergejolak, padahal baru saja rakyat di seluruh pelosok negeri merayakan hari kemerdekaan dengan gegap gempita.
Indahnya bunga api, masih terlihat jelas dalam pandangan mata. Namun sayang di tengah kebahagiaan merayakan hari kemerdekaan, ada luka di hati rakyat Papua. Hal ini dipicu oleh dugaan tindakan rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur.
Menanggapi masalah rasis ini, ribuan orang berdemo di Papua dan berakhir rusuh. Massa yang diselimuti rasa marah melakukan perusakan dan pembakaran di sejumlah tempat di Papua.
Ada kantor Majelis Rakyat Papua, kantor Telkom, Kantor Pos, dan SPBU di samping kantor BTN di Jalan Koti, Jayapura yang menjadi korban amarah massa. Tidak hanya itu, kemarahan para demonstran juga dilampiaskan dengan cara melemparkan batu ke arah kantor-kantor dan hotel di Jayapura.
Benarkah penyebab utama kerusuhan di Papua adalah masalah rasisme semata? Beberapa pihak berpendapat bahwa masalah rasis yang terjadi di Surabaya, bukanlah penyebab utama.
Tetapi persoalan itu hanya sebagai pemantik saja. Demikianlah yang disampaikan oleh Pengamat Psikologi Sosial Universitas Padjadjaran (Unpad), Sri Rahayu Astuti. Menurutnya, rasisme bukan penyebab utama, tapi hanya pemicu, ujar Sri seperti dilansir Kompas.com, Minggu (1/9/2019).
Masih menurut Sri Rahayu Astuti, sebagian orang Papua mungkin ada yang menyimpan kekecewaan dan memiliki sentimen negatif terhadap etnis lain, atau bahkan mungkin Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bisa jadi kekecewaan tersebut selama ini tidak terlihat. Hingga ada pemicu kejadian di Surabaya yang di-blow-up sedemikian rupa.
Hal senada juga disampaikan oleh Sandiaga Uno. Dia menganggap wajar jika masyarakat Papua marah karena ketimpangan ekonomi yang ada tergolong memprihatinkan. Sandi menyebut tingkat kemiskinan masyarakat Papua 8 kali lipat dibanding warga Jakarta. Padahal, lanjutnya, daerah mereka begitu kaya dengan berbagai jenis sumber daya alam.
Segala persoalan di Papua, berpangkal dari absennya negara di sana. Ketidakhadiran negara memicu ketidakadilan. Papua merasa dianak tirikan. Hal Ini kemudian menjadi celah untuk masuknya kapitalisme global asing turut andil demi kepentingan mereka semata yaitu meraup sumber daya alam yang melimpah ruah.
Menghadapi gejolak Papua, negara mendadak tak berdaya, begitu lemah tatkala gerakan separatisme terorisme OPM secara lantang mengumumkan perang kepada negara. Menyandera dan membunuh anggota POLDA Papua. Tragisnya mereka sengaja mengirim mayatnya kepada institusi tempatnya bekerja. Tetapi negara bungkam seribu bahasa.
Teriakan “Aku Pancasila”, NKRI harga mati, dan negara tidak boleh kalah, seolah hilang, nyaris tidak terdengar. Di mana negara tatkala merah putih dibakar? Statement untuk saling memaafkan justru keluar dari orang nomor 1 negeri ini.
Sebegitu lemahkah pemerintah saat ini? Mengapa jika yang dihadapi umat islam, pemerintah mendadak seperti singa yang ingin menerkam musuhnya? Apakah hutang luar negeri yang menumpuk, yang membuat pemerintah hari ini tersandera untuk menunjukkan giginya?
Sudah bisa ditebak oleh banyak pihak, bahwa buntut dari kerusahan yang ada, adalah adanya keinginan sebagian pihak agar Papua lepas dari Indonesia. Maka usulan referendum pun akhirnya muncul. Juru bicara internasional Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Victor Yeimo mengatakan pihaknya akan menyerukan aksi mogok nasional di seluruh wilayah yang diklaim sebagai West Papua untuk mendesak referendum atau penentuan nasib Papua lewat pemungutan suara rakyat.
Di tengah teriakan Papua merdeka, sangat penting untuk dipahami oleh rakyat Indonesia khususnya rakyat Papua. Pemisahan Papua dari Indonesia bukanlah solusinya. Apalagi sampai meminta bantuan negara-negara imperialis. Tindakan tersebut merupakan bunuh diri politik yang sangat berbahaya.
Memisahkan diri dari Indonesia justru akan memperlemah Papua. Jika Papua lepas, itu berati membuka keran seluas-luasnya bagi negara imperialis untuk memangsa kekayaan alam dan sumber daya negeri Papua.
Pangkal persoalan Papua adalah penerapan demokrasi kapitalisme. Sistem demokrasi telah memuluskan berbagai UU liberal yang mengesahkan perusahaan asing seperti Freeport untuk merampok kekayaan alam Papua. Sumber daya alam sejatinya adalah milik umum, dikelola oleh negara untuk dikembalikan lagi kepada rakyat dalam bentuk pelayanan. Tetapi konsep ekonomi seperti ini tidak diadopsi oleh sistem demokrasi kapitalisme.
Maka jika persoalan Papua ingin terselesaikan dengan tuntas, tidak ada jalan lain kecuali mencampakkan demokrasi kapitalisme yang menjadi biang kerok persoalan bangsa termasuk Papua. Sebagai gantinya, ada sistem lain yang berasal dari Allah swt Penguasa langit dan bumi beserta isinya.
Sistem itu adalah syariah islam dalam naungan khilafah. Syariah islam akan menjaga keamanan dan menjamin kesejahteraan seluruh rakyat tanpa melihat suku, warna kulit, bangsa maupun agama. Dan hal ini sudah terbukti dalam sejarah panjang selama 13 abad lamanya.
Syariah islam akan menghentikan imperialisme Amerika, Inggris, Australia dan Barat. Juga akan Menutup celah bagi negara imperialis untuk memecah belah dan menguasai negeri ini. Allah swt berfirman, “Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada kaum kafir untuk menguasai kaum mukmin “ (TQS an-Nisa [4]:141).
Wallahu a'lam
Penulis merupakan: Pengisi Kajian Muslimah, Owner Waroeng Raja Rasa