RIAUMANDIRI.CO, DENPASAR -- Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir memperkenalkan Jang Youn Cho sebagai rektor asing pertama yang masuk Indonesia. Pria berkebangsaan Korea Selatan itu didaulat untuk memimpin kampus swasta, yakni Universitas Siber Asia.
“Rektor tadi punya pengalaman memimpin perguruan tinggi, satu pernah memimpin perguruan tinggi di Hankuk University, Korea Selatan dan pernah di Amerika dan sekarang dia menjadi rektor di Universitas Siber Asia ini,” kata Nasir di Denpasar, Bali, Senin (26/8).
Universitas Siber Asia tersebut, lanjut Nasir, akan diselenggarakan oleh Universitas Nasional Jakarta bekerja sama dengan Hankuk University of Foreign Studies Korea Selatan. Dia mengklaim, perguruan tinggi itu nantinya yang pertama kali di Indonesia berbasis pada daring atau online.
Nasir mengharapkan, kehadiran rektor asing tersebut dapat meningkatkan angka partisipasi kasar (APK) sehingga mutu pendidikan menjadi baik dan meningkatkan daya saing di tingkat internasional. “Karena, ini Asia, mahasiswanya tidak saja dari Indonesia, dan ini ada permintaan mahasiswa bisa dari Asia Tenggara, Asia Barat maupun Afrika. Mudah-mudahan bisa jalan,” ujar dia.
Terkait dengan penempatan rektor asing di perguruan tinggi negeri, Nasir mengatakan, saat ini masih sedang memperbaiki peraturan pemerintahnya dan peraturan terkait lainnya. Impor rektor untuk kampus negeri diperkirakan baru bisa jalan sekitar tahun 2020.
Nasir sebelumnya mengatakan, saat ini ada 14 peraturan yang masih perlu direvisi agar kebijakan mendatangkan rektor asing bisa berlaku. Salah satu di antaranya adalah aturan rektor harus terdaftar sebagai pegawai negeri sipil (PNS) dan merupakan warga negara Indonesia (WNI).
Yayasan Memajukan Ilmu dan Kebudayaan (YMIK) yang menerima izin prinsip pendirian Universitas Siber Asia berjanji untuk memberikan akses pendidikan tinggi yang merata dan terjangkau. Ketua Pengurus YMIK, Ramlan Siregar, mengatakan, sistem pembelajaran Universitas Siber Asia memanfaatkan jaringan internet secara terbuka dan masif melalui program massive open online course.
Sistem itu, kata dia, menghadirkan fitur-fitur pembelajaran berorientasi masa depan untuk mempersiapkan lulusannya menghadapi era revolusi industri 4.0. “Universitas berbasis pengajaran online ini merupakan jawaban untuk mengatasi bonus demografi di tahun 2030-2040,” ujar dia.
Diaspora
Sementara itu, Kepala Bagian Perencanaan dan Penganggaran Ditjen Sumber Daya Iptek dan Dikti (SDID) Kemenristekdikti Agus Susilohadi menyatakan, akan melakukan pemetaan ilmuwan diaspora asal Indonesia yang saat ini berkarier di luar negeri. Kemenristekdikti saat ini memetakan kompetensinya dan memperkuat basis datanya.
Untuk pendataan ilmuwan diaspora Indonesia tersebut, Kemenristekdikti bekerja sama dengan Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I4) dan Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI). Saat ini, lanjut Agus, Kemenristekdikti baru mendata sekitar 400 ilmuwan diaspora Indonesia. Diperkirakan jumlah ilmuwan diaspora lebih banyak lagi.
“Kami sudah berhasil membuat satu matrik rencana Sumber Daya Iptek dan Dikti hingga 10 tahun ke depan. Dari matrik itu diketahui apa saja kebutuhan SDM Indonesia ke depannya,” kata dia.
Selain melakukan pemetaan, kata Agus, Kemenristekdikti juga akan menghubungkan ilmuwan diaspora di luar negeri dengan perguruan tinggi dan juga Lembaga Pemerintah Non-Kementerian (LPNK).
“Kampus-kampus di Tanah Air mengalami kendala dalam hal fasilitas. Maka, dengan dihubungkan dengan diaspora, bisa membuka akses ke luar negeri,” ujar dia.
Beberapa waktu lalu, Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) mengatakan, para ilmuwan diaspora tidak wajib untuk kembali ke Indonesia. Sebaliknya, para ilmuwan diaspora diharapkan untuk terus menimba ilmu dan pengalaman di luar negeri.
“Tak ada kewajiban kembali bekerja ke dalam negeri, bekerja, dan sebagainya karena kalau ditawarkan PNS, saya kira bapak tidak memerlukan PNS karena gajinya turun, yang kita butuhkan itu suatu budaya baru,” kata JK.
JK meminta para ilmuwan diaspora yang sukses berkarier di perguruan tinggi terbaik di luar negeri untuk menularkan budaya pendidikan yang baik ke dalam negeri. Dia berharap, para ilmuwan diaspora juga membagikan pengalaman tentang kemajuan pendidikan di masing-masing wilayah mereka berada.
Ketua Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Taiwan, Sutarsis, menyambut baik rencana pemerintah yang ingin memetakan ilmuwan diaspora. Namun, Sutarsis berharap program yang dilakukan pemerintah kali ini dapat berkesinambungan.
“Saya berharap ini bukan program temporer yang tidak memiliki roadmap dan goal yang jelas,” kata Sutarsis kepada Republika.
Menurut dia, selain memetakan dan meningkatkan hubungan dengan diaspora, hal yang penting adalah ada kejelasan langkah pemerintah untuk menuju knowledge innovation based economy. Sebab, saat ini, ekonomi yang berbasis ilmu pengetahuan dan inovasi akan sangat membantu khususnya dalam era revolusi industri 4.0.
“Pemetaan dan peningkatan konektivitas itu akan tidak berguna jika keberpihakan pemerintah untuk tumbuhnya para technopreneur Indonesia tidak diperhatikan,” kata dia.
Menurut dia, kepentingan besar Indonesia dengan para diaspora adalah menyiapkan secepatnya transformasi ekonomi yang berbasi pengetahuan dan inovasi. Hal itu selama ini telah dilakukan oleh negara-negara maju di Asia, seperti Singapura, Jepang, dan Korea.
Ketua Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I4) Deden Rukmana mengatakan, ilmuwan Indonesia di berbagai negara sangat antusias untuk berkontribusi kepada Indonesia. Lamanya para diaspora Indonesia bekerja di luar negeri tidak membuat mereka enggan berkontribusi untuk Indonesia.
“Berapa tahun pun ilmuwan diaspora sudah di luar, baik satu dua tahun maupun 25 tahun, tapi kecintaan kami terhadap Republik Indonesia tetap tinggi dan mendalam, jadi ketika Indonesia memanggil, kami datang,” kata Deden.**